Dalam beberapa puluh tahun terakhir, perhatian dunia semakin besar terhadap kebutuhan akan energi ramah lingkungan. Dorongan utama pencarian energi ini adalah upaya mengurangi dampak perubahan iklim, yaitu perubahan jangka panjang pada pola cuaca global akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia.
Salah satu sumber energi yang kini banyak dilirik adalah energi angin. Energi ini dihasilkan dengan memanfaatkan kekuatan angin untuk menggerakkan turbin raksasa. Turbin angin bekerja seperti kincir: ketika baling-balingnya berputar tertiup angin, putaran tersebut diubah menjadi energi listrik.
Mengapa energi angin dianggap menarik? Karena dibandingkan dengan energi fosil, seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam. Energi angin lebih murah, berkelanjutan, dan tidak menghasilkan polusi udara berbahaya. Energi fosil memang sudah lama menjadi tulang punggung kebutuhan listrik dan transportasi, tetapi penggunaannya melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar yang memperparah pemanasan global.
Dengan kata lain, energi angin muncul sebagai salah satu solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan listrik manusia tanpa merusak lingkungan.
Namun, di balik keunggulannya, turbin angin menyimpan masalah baru: risiko bagi burung dan kelelawar. Banyak laporan ilmiah menunjukkan hewan-hewan ini sering mati karena menabrak baling-baling turbin atau mengalami barotrauma (cedera akibat perubahan tekanan udara mendadak ketika terhisap dekat baling-baling).
Sebuah penelitian terbaru di Spanyol mencoba memahami lebih jauh spesies burung dan kelelawar mana yang paling rentan, serta bagaimana cara mengurangi dampak buruk ini tanpa mengorbankan misi besar transisi energi hijau.
Apa yang Diteliti Peneliti di Spanyol?
Tim peneliti mengamati 214 spesies burung dan 19 spesies kelelawar di Semenanjung Iberia (Spanyol). Mereka memetakan wilayah rawan, melihat pola migrasi, ciri ekologi, serta perilaku spesies untuk menilai seberapa besar risiko kematian akibat turbin angin.
Beberapa hal yang dianalisis antara lain:
- Ciri morfologi: ukuran tubuh, bentuk sayap, dan gaya terbang.
- Pola hidup: apakah spesies tersebut menetap atau migrasi jarak jauh.
- Peran ekologi: misalnya burung pemakan bangkai (scavenger) atau kelelawar pemakan serangga.
Dengan pendekatan ini, peneliti bisa membuat peta kerentanan ekosistem yang menunjukkan daerah mana yang paling berbahaya bagi satwa terbang.
Baca juga artikel tentang: Silase: Solusi Pakan Ternak Masa Depan untuk Menyongsong Kemandirian Pangan
Siapa yang Paling Terancam?
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan dampak antara burung dan kelelawar.
- Burung
- Spesies pemakan bangkai, burung pemangsa (raptor), serta burung dengan jalur migrasi sebagian (tidak penuh) ternyata lebih sering menjadi korban tabrakan.
- Meski begitu, tingkat kematian burung dihubungkan dengan kondisi lokal. Artinya, ada provinsi dengan angka tabrakan tinggi, ada pula yang rendah.
- Kelelawar
- Kelelawar jauh lebih rentan dibanding burung. Ini karena kelelawar terbang pada malam hari dan tertarik pada serangga yang berkumpul di sekitar turbin angin (efek cahaya dan perubahan aliran udara).
- Di wilayah timur Spanyol, pembangunan ladang angin justru paling berisiko terhadap populasi kelelawar.
Dampak Ekologis yang Lebih Luas
Kematian burung dan kelelawar bukan sekadar masalah jumlah individu yang berkurang. Dampaknya bisa meluas ke ekosistem dan kehidupan manusia:
- Kelelawar adalah predator alami serangga. Jika populasinya turun, serangga hama pertanian bisa meningkat, memaksa petani menggunakan lebih banyak pestisida.
- Burung pemakan bangkai berperan penting dalam “membersihkan” alam. Tanpa mereka, bangkai hewan bisa menumpuk, menyebarkan penyakit.
- Burung migran membantu penyerbukan dan penyebaran biji tanaman di lintas benua. Penurunan populasi mereka bisa mengganggu regenerasi hutan dan padang rumput.
Dengan kata lain, hilangnya burung dan kelelawar bisa mengurangi fungsi ekosistem yang menopang kehidupan manusia.

Peneliti menekankan bahwa masalah ini bukan berarti energi angin buruk atau harus dihentikan. Sebaliknya, mereka menyerukan pengelolaan yang lebih cermat. Beberapa rekomendasi yang diajukan antara lain:
- Identifikasi Zona Rawan
- Gunakan peta kerentanan untuk menentukan lokasi pembangunan turbin. Hindari daerah yang menjadi jalur migrasi utama atau habitat sensitif.
- Teknologi Pencegah Tabrakan
- Pasang sensor atau kamera AI untuk mendeteksi kedatangan burung/kelelawar dan menghentikan turbin sementara.
- Cat salah satu bilah turbin dengan warna berbeda, yang terbukti menurunkan risiko tabrakan pada burung.
- Pengaturan Waktu Operasi
- Matikan turbin di jam-jam tertentu, misalnya malam hari saat kelelawar paling aktif.
- Pemantauan Jangka Panjang
- Lakukan riset rutin untuk mengevaluasi dampak dan menyesuaikan strategi perlindungan.

Penelitian ini menyoroti dilema besar: di satu sisi, energi angin membantu mengurangi emisi karbon dan memperlambat pemanasan global. Di sisi lain, ia menimbulkan risiko baru bagi satwa liar.
Apakah kita harus memilih salah satunya? Jawaban peneliti: tidak. Kuncinya adalah menyelaraskan pembangunan energi dengan konservasi keanekaragaman hayati. Dengan perencanaan yang matang, keduanya bisa berjalan seiring.

Energi angin memang simbol masa depan energi bersih. Namun, jika tidak hati-hati, ia bisa berubah menjadi “jebakan hijau” yang menyelubungi masalah ekologis baru.
Melalui riset di Spanyol ini, kita belajar bahwa transisi energi harus berpijak pada prinsip One Health kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling terkait. Energi hijau sejati bukan hanya bebas karbon, tetapi juga menghormati kehidupan liar yang berbagi bumi dengan kita.
Baca juga artikel tentang: Mengurangi Gas Rumah Kaca dari Sapi: Solusi Mengejutkan dari Ampas Kopi
REFERENSI:
Gall-Ladevèze, Chloé Le dkk. 2025. Limited transmission of avian influenza viruses, avulaviruses, coronaviruses and Chlamydia sp. at the interface between wild birds and a free-range duck farm. Veterinary Research 56 (1), 36.


