Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan laut yang luas dan kaya akan sumber daya. Di tengah meningkatnya permintaan pangan laut dunia, budidaya perikanan menjadi kunci penting. Namun, ada masalah klasik yang sering dihadapi: lahan budidaya yang terbatas, biaya tinggi, dan dampak lingkungan yang perlu dikendalikan.
Salah satu inovasi yang kini mulai berkembang adalah sistem keramba jaring apung bertingkat (Multi-level Floating Net Cage/MFNC). Sistem ini memungkinkan petani laut memelihara lebih dari satu jenis biota dalam satu ruang, tanpa harus memperluas area horizontal di laut. Penelitian terbaru dari Universitas Mataram (2025) menguji sistem ini dengan fokus pada lobster duri, ikan bawal putih (snubnose pompano), dan kerang abalon.
Dari Jaring Apung ke Jaring Apung Bertingkat
Biasanya, budidaya laut menggunakan keramba jaring apung (Floating Net Cage/FNC) yang dipasang di perairan terbuka. Biota seperti ikan atau lobster dipelihara di dalam jaring tersebut, dengan ukuran yang disesuaikan. Namun kelemahan FNC adalah keterbatasan ruang: semakin banyak biota yang dipelihara, semakin luas pula jaring yang harus dibentangkan.
MFNC hadir sebagai solusi. Alih-alih menambah jaring ke samping, petani laut bisa menyusun jaring ke atas-bawah, seperti gedung bertingkat di dalam laut. Konsep sederhana ini ternyata punya dampak besar: efisiensi ruang, peluang integrasi berbagai jenis biota, dan potensi peningkatan produksi.
Riset di Teluk Ekas, Lombok
Penelitian dilakukan di Teluk Ekas, Lombok Timur, yang memang sudah dikenal sebagai salah satu kawasan budidaya laut di Indonesia. Metodenya berupa eksperimen lapangan dengan membandingkan dua sistem:
- FNC biasa (jaring apung satu tingkat).
- MFNC (jaring apung bertingkat).
Biota yang diuji adalah:
- Lobster duri (spiny lobster) → komoditas bernilai tinggi untuk pasar ekspor.
- Ikan bawal putih (snubnose pompano) → ikan laut yang populer dan cepat tumbuh.
- Abalon (abalone shell) → moluska mewah yang juga bernilai tinggi.
Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, kondisi fisiologis biota, serta kualitas air laut.
Baca juga artikel tentang: Peneliti Berhasil Ungkap Mengapa Beberapa Jenis Ayam mampu Lebih Hemat Air dibandingkan Ayam Lainnya
Apa yang Ditemukan?
Hasil penelitian menunjukkan hal menarik:
- Tidak ada perbedaan signifikan dalam pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan kondisi fisiologis lobster antara FNC dan MFNC. Artinya, menambah “lantai” pada keramba tidak merugikan lobster.
- Kualitas air laut tetap stabil. Parameter penting seperti suhu, pH, oksigen terlarut, dan salinitas tidak berubah meski digunakan MFNC. Dengan kata lain, sistem ini tidak memberi dampak buruk pada ekosistem laut.
- Integrasi dengan bawal dan abalon berjalan baik. Ketiga komoditas bisa hidup berdampingan tanpa saling mengganggu, bahkan saling melengkapi.
Mengapa Integrasi Itu Penting?
Budidaya laut biasanya berfokus pada satu jenis komoditas. Masalahnya, ini sering menimbulkan limbah organik (sisa pakan, kotoran) yang bisa mencemari air. Integrasi beberapa jenis biota justru bisa membantu menciptakan keseimbangan:
- Ikan bawal memanfaatkan pakan pelet.
- Abalon bisa mengambil sisa organik atau tumbuhan laut.
- Lobster hidup di dasar jaring, dengan kebutuhan ruang yang berbeda.
Dengan begitu, sistem ini bekerja seperti ekosistem mini di dalam laut, efisien, sehat, dan berkelanjutan.
Efisiensi Ruang: “Gedung Bertingkat” di Laut
Salah satu keunggulan utama MFNC adalah pemanfaatan ruang secara vertikal. Bayangkan jika di daratan kita bisa membangun gedung bertingkat untuk menampung lebih banyak orang, maka di laut, MFNC bisa menampung lebih banyak biota dalam ruang yang sama.

Bagi negara seperti Indonesia, yang punya garis pantai panjang tetapi ruang budidaya yang sering berbenturan dengan pariwisata atau transportasi laut, sistem ini bisa menjadi solusi jangka panjang.
Nilai Ekonomi yang Tinggi
Ketiga komoditas yang dipelihara dalam penelitian ini semuanya punya nilai pasar premium:
- Lobster duri → salah satu seafood termahal, permintaan ekspor tinggi.
- Bawal putih → populer di restoran dan pasar lokal.
- Abalon → dikenal sebagai makanan mewah, terutama di pasar Asia Timur.
Dengan integrasi ini, petani laut tidak hanya bergantung pada satu komoditas. Jika harga lobster turun, mereka masih bisa mengandalkan bawal atau abalon. Diversifikasi ini membuat pendapatan lebih stabil.
Ramah Lingkungan
Isu besar dalam akuakultur adalah dampaknya pada lingkungan. Jika salah kelola, budidaya laut bisa merusak ekosistem pesisir. Namun, penelitian ini menegaskan bahwa MFNC tidak merusak kualitas air laut. Dengan integrasi yang tepat, limbah bisa diminimalkan, dan ekosistem laut tetap terjaga.
Inilah alasan mengapa sistem ini dianggap sebagai budidaya laut berkelanjutan, menghasilkan keuntungan ekonomi tanpa merusak lingkungan.
Tantangan yang Masih Ada
Meski hasilnya menjanjikan, penerapan sistem MFNC tetap punya tantangan:
- Investasi awal → Membuat keramba bertingkat membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding jaring apung biasa.
- Manajemen teknis → Petani perlu pelatihan khusus untuk mengatur tiga jenis biota sekaligus.
- Risiko cuaca ekstrem → Gelombang besar bisa merusak keramba, sehingga butuh desain yang kuat.
- Akses pasar → Produk seperti abalon masih butuh pengembangan pasar domestik agar tidak hanya tergantung ekspor.
Menatap Masa Depan
Penelitian di Teluk Ekas memberi gambaran jelas: budidaya laut masa depan bukan lagi soal memperluas jaring, tetapi memaksimalkan ruang yang ada. Dengan sistem MFNC, petani bisa:
- Memelihara lebih banyak biota di ruang terbatas.
- Mengintegrasikan beberapa komoditas sekaligus.
- Menjaga keberlanjutan lingkungan laut.
Jika didukung dengan kebijakan pemerintah, riset lanjutan, dan akses modal, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi pionir dalam sistem budidaya laut bertingkat ini.
Sistem keramba jaring apung bertingkat (MFNC) dengan integrasi lobster, bawal, dan abalon terbukti efisien, ramah lingkungan, dan punya nilai ekonomi tinggi. Penelitian ini membuka jalan bagi inovasi budidaya laut Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, produktif, dan menguntungkan bagi nelayan maupun ekosistem laut.
Di tengah tantangan pangan global, laut Indonesia masih menyimpan jawaban, kita hanya perlu mengelolanya dengan cara yang lebih cerdas.
Baca juga artikel tentang: Mengapa Warna Cangkang Telur Bisa Berbeda? Ini Jawaban dari Ilmu Genetika
REFERENSI:
Junaidi, Muhammad dkk. 2025. Culture of Spiny Lobster in Multi-level Floating Net Cage System Integrated with Snubnose Pompano and Abalone Shells. Jurnal Biologi Tropis 25 (1), 1134-1142.