Ketika kita menikmati segelas susu segar dari daerah pegunungan, mungkin yang terbayang adalah udara bersih, rumput hijau, dan sapi-sapi yang tampak bahagia di padang rumput. Namun, di balik kesan romantis itu, ada cerita kompleks tentang bagaimana susu dihasilkan dan dampaknya terhadap lingkungan.
Peternakan sapi perah di pegunungan, seperti di kawasan Alpen Eropa, memiliki peran penting bukan hanya bagi ekonomi lokal, tetapi juga bagi ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan. Sistem ini mendukung kehidupan masyarakat desa, menjaga lanskap pegunungan tetap produktif, dan menghasilkan susu berkualitas tinggi. Namun, cara pengelolaan peternakan juga sangat menentukan seberapa besar jejak lingkungan yang ditinggalkan, seperti emisi gas rumah kaca atau kebutuhan lahan.
Sebuah penelitian terbaru mencoba membandingkan dua model peternakan sapi perah di pegunungan Alpen: sistem intensif (high-input) dan sistem sederhana berbasis padang rumput (low-input). Hasilnya memberi gambaran menarik tentang dilema antara produktivitas tinggi dan keberlanjutan lingkungan.
Baca juga artikel tentang: Mengurangi Gas Rumah Kaca dari Sapi: Solusi Mengejutkan dari Ampas Kopi
Dua Sistem, Dua Dunia
- Sistem Intensif (High-Input)
- Sapi biasanya dipelihara di kandang permanen.
- Pakan berasal dari hasil intensifikasi, sering kali berupa pakan konsentrat dengan kualitas tinggi.
- Ras sapi yang digunakan cenderung modern, seperti Simmental, yang mampu menghasilkan susu dalam jumlah besar.
- Keunggulannya: produksi susu per ekor tinggi, stabil sepanjang tahun.
- Tantangannya: membutuhkan sumber daya pakan tambahan yang tidak selalu tersedia secara lokal, serta berdampak lebih besar terhadap lingkungan.
- Sistem Low-Input (Berbasis Padang Rumput)
- Sapi merumput secara musiman di padang rumput pegunungan.
- Pakan lebih sederhana, mengandalkan rumput lokal dan hanya sedikit tambahan pakan dari luar.
- Jenis sapi yang dipelihara biasanya lokal, misalnya Tirol Grey, yang lebih adaptif pada kondisi pegunungan.
- Keunggulannya: lebih ramah lingkungan, jejak karbon lebih rendah.
- Tantangannya: produksi susu per ekor relatif lebih rendah dan sangat bergantung pada musim.

Peneliti menilai kedua sistem ini dengan membandingkan beberapa indikator penting:
- Emisi Gas Rumah Kaca (Global Warming Potential, GWP100):
Sistem intensif menghasilkan emisi gas rumah kaca per liter susu yang lebih rendah dibandingkan sistem low-input. Hal ini terjadi karena produksi susu per ekor jauh lebih tinggi, sehingga emisi per satuan produk lebih kecil. - Penggunaan Lahan:
Sistem intensif membutuhkan lahan lebih sedikit untuk setiap liter susu. Namun, lahan yang dipakai biasanya untuk menanam pakan tambahan, bukan padang rumput alami. - Dampak Lingkungan Lain (Asidifikasi & Eutrofikasi):
Sistem low-input justru lebih efisien dalam menekan potensi pencemaran tanah dan air, karena minim penggunaan pupuk dan pakan luar. - Ketersediaan Pangan untuk Manusia (Human Net Food Supply):
Penelitian ini juga melihat bagaimana produksi susu bersaing dengan ketersediaan pangan untuk manusia. Sistem low-input memberi nilai positif karena lebih sedikit menggunakan pakan yang sebenarnya bisa langsung dikonsumsi manusia (seperti biji-bijian).
Singkatnya, sistem intensif lebih efisien secara produksi, tapi lebih boros sumber daya pangan global. Sistem low-input lebih rendah hasil, tapi lebih adil dalam penggunaan sumber daya.
Musim Membentuk Pola Produksi
Satu faktor yang sangat memengaruhi peternakan sapi perah di pegunungan adalah musim.
- Pada musim panas, sapi di sistem low-input bisa merumput bebas, sehingga biaya pakan rendah dan produksi susu cukup stabil.
- Saat musim dingin, sapi harus dipelihara di kandang dan bergantung pada jerami atau silase, yang membuat produksi susu menurun.
Sebaliknya, sistem intensif lebih tahan terhadap perubahan musim karena pakan selalu tersedia dalam bentuk konsentrat. Namun, ini berarti ketergantungan besar pada input luar, yang harganya bisa mahal dan tidak selalu berkelanjutan.
Dilema Peternak: Untung, Lingkungan, atau Tradisi?
Hasil studi ini menegaskan bahwa tidak ada satu sistem yang sempurna. Sistem intensif unggul dalam produktivitas dan efisiensi penggunaan lahan, tapi membawa beban lingkungan dan ketergantungan pada pasar global pakan. Sistem low-input lebih ramah lingkungan dan mempertahankan tradisi lokal, tapi kurang produktif secara ekonomi.
Bagi peternak, memilih sistem mana yang dipakai bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga soal identitas budaya, kondisi alam, dan pasar. Misalnya, keju-keju khas pegunungan yang terkenal di Eropa justru lebih cocok dihasilkan dari sapi yang merumput bebas, sehingga sistem low-input tetap relevan meskipun hasil susunya lebih sedikit.
Apa Artinya Bagi Kita, Konsumen?
Sebagai konsumen, kita sering kali tidak menyadari cerita panjang di balik segelas susu atau sepotong keju. Penelitian ini mengingatkan bahwa pilihan kita di pasar juga bisa memengaruhi arah pertanian di masa depan.
- Membeli produk lokal dari peternakan kecil dapat membantu melestarikan tradisi dan lingkungan.
- Sementara itu, produk dari sistem intensif mungkin lebih murah dan efisien secara produksi, tapi memiliki tantangan keberlanjutan jangka panjang.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran lingkungan, ada kemungkinan konsumen bersedia membayar lebih untuk produk yang dihasilkan dengan cara ramah alam, meskipun produksinya tidak sebesar sistem intensif.

Peneliti menyarankan perlunya pendekatan yang lebih seimbang, yang bisa menggabungkan keunggulan kedua sistem. Misalnya:
- Menggunakan teknologi pakan yang lebih efisien di sistem low-input.
- Mengintegrasikan praktik merumput musiman pada sistem intensif untuk mengurangi ketergantungan pada pakan luar.
- Mengadopsi kebijakan pemerintah yang memberi insentif pada praktik ramah lingkungan.
Dengan begitu, peternakan sapi perah di pegunungan bisa tetap produktif tanpa mengorbankan kelestarian alam dan ketersediaan pangan global.
Peternakan sapi perah di pegunungan adalah cermin dari dilema besar pertanian modern: bagaimana memberi makan dunia tanpa merusak bumi. Sistem intensif dan sistem low-input sama-sama punya kelebihan dan kelemahan. Tantangan kita adalah menemukan cara untuk memadukan keduanya, sehingga kita bisa menikmati susu berkualitas tinggi sekaligus menjaga bumi tetap lestari.
Jadi, lain kali Anda meneguk segelas susu, ingatlah: di balik rasanya yang lembut, ada kisah panjang tentang alam, petani, dan pilihan kita sebagai manusia.
Baca juga artikel tentang: Silase: Solusi Pakan Ternak Masa Depan untuk Menyongsong Kemandirian Pangan
REFERENSI:
Zanon, Thomas dkk. 2025. Effect of management system and dietary seasonal variability on environmental efficiency and human net food supply of mountain dairy farming systems. Journal of dairy science 108 (1), 597-610.


