Saat Peternakan Jadi Solusi: Regenerasi Tanah dengan Integrasi Sistem

Bayangkan sebuah lahan pertanian yang bukan hanya menghasilkan pangan dan daging, tetapi juga menjaga tanah tetap sehat, menyimpan air dengan baik, dan bahkan menyerap karbon dari udara. Inilah gambaran dari pertanian regeneratif, sebuah pendekatan baru yang kini sedang menjadi perbincangan di dunia peternakan dan pertanian.

Sebuah penelitian di Brasil, yang dilakukan di Cangüiri Experimental Station sejak tahun 2012, memberikan bukti menarik bahwa menggabungkan tanaman, ternak, dan hutan dalam satu sistem dapat membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah dan keberlanjutan lingkungan. Studi ini meneliti secara mendalam bagaimana integrasi antara tanaman dan hutan dengan peternakan dapat memengaruhi sifat hidrolik tanah yaitu kemampuan tanah untuk menyerap, menyimpan, dan mengalirkan air.

Baca juga artikel tentang: Lebih dari Sekadar Sawah: Bagaimana Peternakan Itik Membantu Petani Lawan Hama dan Hemat Pupuk

Mengapa Tanah Jadi Fokus?

Tanah bukan sekadar tempat berpijak atau media tanam. Tanah adalah “jantung” dari sistem pertanian. Tanah yang sehat mampu:

  • Menyimpan air sehingga tanaman tidak mudah kekeringan.
  • Menjadi rumah bagi mikroorganisme yang penting untuk kesuburan.
  • Menyerap karbon dan membantu mengurangi dampak perubahan iklim.

Namun, praktik pertanian intensif selama puluhan tahun sering kali membuat tanah kehilangan kualitasnya. Misalnya, penggunaan pupuk dan pestisida kimia berlebih, pengolahan tanah yang terus-menerus, atau sistem monokultur tanpa rotasi. Akibatnya, tanah menjadi keras, pori-porinya tertutup, air sulit meresap, dan nutrisi makin berkurang.

Di sinilah pertanian regeneratif hadir sebagai solusi.

Apa Itu Pertanian Regeneratif?

Secara sederhana, pertanian regeneratif adalah cara bertani yang tidak hanya mengambil dari tanah, tetapi juga mengembalikannya. Tujuannya bukan sekadar menjaga agar lahan tetap bisa dipakai, tetapi juga meningkatkan kualitas tanah, air, dan ekosistem sekitarnya.

Perbandingan sistem peternakan (ternak saja, ternak-tanaman, ternak-hutan, dan ternak-tanaman-hutan) dari tahun 2012 hingga 2022, yang menunjukkan rotasi musim, jenis tanaman, keberadaan ternak, serta integrasi hutan dalam upaya meningkatkan keberlanjutan lahan.

Beberapa prinsip utamanya adalah:

  1. Mengurangi olah tanah agar struktur tanah tetap terjaga.
  2. Menutup tanah sepanjang tahun dengan tanaman penutup (cover crops).
  3. Meningkatkan keragaman hayati, baik tanaman maupun ternak.
  4. Integrasi tanaman dan ternak, agar limbah dari satu sistem bisa menjadi sumber daya untuk sistem lain.
  5. Menambahkan unsur kehutanan, misalnya menanam pohon di sekitar lahan atau di dalam sistem pertanian (agroforestry).

Penelitian di Brasil: Membandingkan Empat Sistem

Tim peneliti Brasil mengamati empat sistem berbeda:

  1. L (Livestock saja): Lahan hanya dipakai untuk ternak.
  2. CL (Crop-Livestock): Lahan dipakai bergantian untuk tanaman dan ternak.
  3. LF (Livestock-Forest): Ternak digabungkan dengan pepohonan.
  4. CLF (Crop-Livestock-Forest): Kombinasi lengkap antara tanaman, ternak, dan hutan.
Diagram analisis perbandingan sifat hidrolik tanah pada berbagai sistem peternakan (L, LF, CL, CLF), di mana integrasi tanaman dan hutan (CL, CLF) lebih terkait dengan perbaikan porositas dan konduktivitas tanah, sementara sistem ternak saja (L, LF) cenderung berhubungan dengan kepadatan tanah lebih tinggi.

Sampel tanah dikumpulkan hingga kedalaman 30 cm dan diuji berbagai sifat penting, seperti:

  • Daya serap air,
  • Porositas (jumlah dan ukuran pori tanah),
  • Kadar air yang tersedia bagi tanaman,
  • Kerapatan tanah (bulk density).

Hasil Utama: Integrasi Lebih Baik daripada Monokultur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem CL dan CLF memiliki kualitas tanah yang jauh lebih baik dibandingkan hanya memelihara ternak saja. Beberapa poin penting:

  • Tanah lebih berpori: Artinya air bisa masuk dan tersimpan lebih baik, sehingga mengurangi risiko banjir sekaligus membantu tanaman saat musim kering.
  • Struktur tanah lebih stabil: Tidak mudah padat atau rusak meski diinjak ternak.
  • Fungsi ekosistem meningkat: Sistem ini menjaga siklus nutrisi dan membantu menyimpan karbon lebih lama di tanah.
Dendrogram sistem peternakan murni (L dan LF) membentuk satu kelompok yang berbeda dengan sistem terintegrasi tanaman-hutan (CL dan CLF), menandakan perbedaan signifikan dalam sifat tanah atau fungsi ekosistem.

Sementara itu, sistem L (Livestock saja) justru cenderung membuat tanah lebih padat dan porositasnya berkurang. Ini bisa menurunkan daya simpan air dan memperburuk kondisi saat musim hujan atau kemarau.

Mengapa Integrasi Bisa Lebih Baik?

Ada beberapa alasan sederhana:

  1. Kotoran ternak sebagai pupuk alami
    Saat digabung dengan tanaman, kotoran ternak tidak menjadi limbah, melainkan pupuk organik yang memperbaiki kandungan organik tanah.
  2. Akar tanaman menjaga struktur tanah
    Akar tanaman membantu menciptakan pori-pori alami di dalam tanah, sehingga tanah tidak mudah padat.
  3. Pohon berperan ganda
    Pohon memberikan naungan, mengurangi suhu ekstrem di permukaan tanah, sekaligus menjaga kelembapan. Akar pohon juga memperdalam struktur tanah sehingga air dapat tersimpan lebih lama.

Manfaat bagi Petani dan Lingkungan

Jika dilihat secara praktis, apa keuntungan yang bisa didapat dari sistem integrasi tanaman-ternak-hutan ini?

  • Produktivitas jangka panjang: Tanah sehat berarti lahan tetap produktif selama bertahun-tahun.
  • Efisiensi air: Tanaman lebih tahan terhadap kekeringan, penting di era perubahan iklim.
  • Pengurangan biaya pupuk: Petani bisa lebih hemat karena tanah semakin subur secara alami.
  • Penyimpanan karbon: Membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.
  • Keanekaragaman hayati: Ekosistem lebih beragam dan stabil.

Tantangan yang Perlu Dihadapi

Meski hasil penelitian sangat menjanjikan, penerapan sistem ini tidak otomatis mudah. Ada beberapa tantangan, antara lain:

  • Butuh investasi awal lebih besar, misalnya untuk menanam pohon atau menyiapkan sistem rotasi tanaman.
  • Perlu pengetahuan baru, karena petani harus mengelola tiga komponen sekaligus (tanaman, ternak, hutan).
  • Butuh waktu, karena manfaat nyata pada tanah mungkin baru terlihat setelah beberapa tahun.

Namun, jika dibandingkan dengan kerugian jangka panjang akibat degradasi tanah, investasi ini bisa dianggap sebagai langkah bijak.

Masa Depan Pertanian Regeneratif

Penelitian di Brasil ini memberi bukti nyata bahwa menggabungkan tanaman, ternak, dan hutan bisa menjadi kunci untuk masa depan pertanian yang lebih berkelanjutan. Model integrasi ini sejalan dengan upaya global untuk melawan perubahan iklim, menjaga ketahanan pangan, dan meningkatkan kesejahteraan petani.

Jika semakin banyak petani yang mengadopsi sistem ini, kita bisa membayangkan masa depan di mana pertanian tidak lagi dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, melainkan bagian dari solusi.

Tanah adalah aset paling berharga dalam pertanian. Dengan merawat tanah melalui praktik pertanian regeneratif, kita bukan hanya menjaga produktivitas pangan, tetapi juga menjaga bumi tetap sehat untuk generasi mendatang.

Integrasi tanaman, ternak, dan hutan bukan sekadar tren, melainkan strategi nyata untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan degradasi lahan. Seperti kata pepatah lama, “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, kita meminjamnya dari anak cucu kita.”

Baca juga artikel tentang: Daging Kelinci: Potensi Tersembunyi di Dunia Peternakan

REFERENSI:

Romanoski, Vanessa Silva dkk. 2025. Dynamic soil hydraulic properties in regenerative agriculture: Effects of crop and forest integration in livestock systems. Soil and Tillage Research 253, 106680.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top