Selama beberapa dekade terakhir, reforestasi atau penanaman kembali hutan menjadi salah satu strategi utama dunia dalam menghadapi perubahan iklim. Alasannya jelas: pohon adalah penyerap karbon alami. Semakin banyak pohon, semakin banyak pula gas rumah kaca yang bisa ditangkap dari atmosfer. Namun, sebuah penelitian terbaru di Tiongkok mengingatkan kita bahwa program penghijauan besar-besaran tidak selalu berdampak positif untuk semua sektor, terutama peternakan.
Bagi negara dengan populasi besar seperti Tiongkok, keseimbangan antara menyerap karbon dan menyediakan pangan sangatlah penting. Dan di sinilah muncul dilema: semakin luas area untuk hutan baru, semakin sedikit ruang yang tersisa untuk padang rumput ternak.
Baca juga artikel tentang: Peternakan Kelinci Berkelanjutan: Manfaat Allicin, Likopen, Vitamin E & C
Potensi reforestasi raksasa di Tiongkok
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Geography and Sustainability (2025) mengungkapkan bahwa Tiongkok memiliki potensi area reforestasi hingga 43,2 juta hektare—setara hampir dua kali luas Pulau Jawa. Jika semua area ini ditanami pohon, tutupan hutan Tiongkok akan naik dari 19,6% menjadi sekitar 27,4%.

Dampak lingkungannya luar biasa. Penyerapan karbon bisa meningkat 17,2% dari kapasitas saat ini, yang artinya Tiongkok akan jauh lebih kuat dalam mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Namun, ada sisi lain dari cerita ini: hilangnya padang rumput untuk peternakan.
Pukulan bagi produksi daging sapi dan domba
Padang rumput adalah sumber makanan utama bagi sapi dan domba. Jika area padang ini dialihkan untuk hutan, otomatis jumlah ternak yang bisa digembalakan akan menurun. Studi ini memprediksi bahwa reforestasi skala besar dapat mengurangi produksi daging sapi di Tiongkok hingga 4,7% per tahun dan daging domba hingga 0,8% per tahun.
Sekilas angka ini terlihat kecil, tetapi untuk negara dengan konsumsi daging yang sangat besar, dampaknya sangat signifikan. Penurunan produksi ini berisiko menciptakan kesenjangan pasokan pangan, memicu kenaikan harga daging, bahkan mengancam ketahanan pangan jutaan orang.

Inilah yang disebut para peneliti sebagai dilema ganda: di satu sisi, reforestasi penting untuk menyelamatkan iklim global; di sisi lain, mengurangi ruang padang rumput bisa melemahkan sektor peternakan yang vital bagi masyarakat lokal.
Peternakan di Tiongkok bukan hanya soal makanan. Ia juga menopang mata pencaharian banyak keluarga di pedesaan. Ketika padang rumput hilang, bukan hanya sapi dan domba yang terdampak, tetapi juga ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup pada ternak.
Bagaimana menyeimbangkannya?
Para peneliti menyarankan agar kebijakan reforestasi tidak dilakukan secara “sapujagat” tanpa mempertimbangkan kebutuhan peternakan. Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain:
- Melindungi padang rumput penting
Area padang yang vital untuk produksi ternak sebaiknya tidak dialihkan sepenuhnya menjadi hutan. - Mengoptimalkan penggunaan lahan
Mengintegrasikan agroforestri, di mana pohon ditanam berdampingan dengan padang rumput, sehingga tetap ada ruang untuk ternak sekaligus penyerapan karbon. - Meningkatkan efisiensi peternakan
Teknologi pakan yang lebih baik, manajemen kesehatan ternak, dan pemuliaan genetik bisa membantu menghasilkan lebih banyak daging dengan jumlah ternak yang lebih sedikit. - Pendekatan regional
Tidak semua wilayah cocok untuk reforestasi besar-besaran. Kebijakan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Implikasi global
Temuan ini tidak hanya relevan untuk Tiongkok. Banyak negara lain juga sedang gencar menanam pohon demi memenuhi target iklim, termasuk Indonesia. Namun, negara dengan basis peternakan besar perlu berhati-hati agar program reforestasi tidak justru menekan pasokan pangan dalam negeri.
Kita belajar bahwa solusi iklim tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Menanam hutan memang baik, tetapi harus dipadukan dengan strategi pangan agar masyarakat tidak kehilangan sumber protein hewani.

Keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan akan menjadi isu besar di abad ke-21. Apalagi dengan proyeksi populasi dunia yang bisa mencapai 10 miliar pada tahun 2050, kebutuhan daging dan susu akan terus meningkat.
Jika reforestasi dilakukan secara masif tanpa strategi perlindungan padang rumput, kita bisa menghadapi situasi ironis: lingkungan lebih hijau, tetapi masyarakat kekurangan pangan.
Studi ini menegaskan bahwa reforestasi memang kunci dalam melawan perubahan iklim, tetapi tidak boleh mengorbankan kebutuhan dasar manusia. Bagi Tiongkok, dan negara lain yang menghadapi tantangan serupa, kuncinya adalah kebijakan yang seimbang, menjaga karbon tetap terserap oleh hutan, tetapi juga memastikan sapi dan domba tetap punya ruang untuk hidup.
Pada akhirnya, perjuangan melawan krisis iklim dan menjaga ketahanan pangan bukanlah dua jalur yang terpisah, melainkan harus berjalan berdampingan. Dengan perencanaan yang cerdas, kita bisa mewujudkan dunia yang lebih hijau tanpa mengorbankan piring makan masyarakat.
Baca juga artikel tentang: Daging Kelinci: Potensi Tersembunyi di Dunia Peternakan
REFERENSI:
Wu, Changjiang dkk. 2025. Non-negligible large impact of potential forestation on livestock production in China. Geography and Sustainability 6 (4), 100270.


