Telur adalah salah satu makanan paling universal di dunia. Hampir semua budaya punya cara khas untuk mengolah telur, mulai dari direbus, digoreng, hingga dijadikan bahan kue. Ketika berbicara tentang telur konsumsi, kebanyakan orang langsung memikirkan telur ayam, lalu mungkin telur bebek atau telur puyuh. Namun, ada satu jenis unggas besar yang juga bisa bertelur dan sebenarnya akrab di meja makan kita: kalkun.
Kalkun sering disajikan utuh dalam perayaan seperti Thanksgiving di Amerika Serikat. Dagingnya juga diolah menjadi sosis, daging asap, hingga sandwich. Tetapi pertanyaan menarik muncul: kalau dagingnya banyak dikonsumsi, kenapa kita hampir tidak pernah melihat telur kalkun dijual di pasar?
Secara Biologis, Tidak Ada yang “Aneh” pada Telur Kalkun
Pertama-tama, penting dipahami bahwa telur kalkun sebenarnya aman dimakan. Kandungan gizinya mirip dengan telur ayam: kaya protein, lemak sehat, vitamin, dan mineral. Bentuknya juga hampir sama, hanya saja ukurannya lebih besar dengan cangkang agak berbintik. Jadi, tidak ada alasan biologis atau kesehatan yang melarang kita mengonsumsinya.
Lalu, jika bukan soal kesehatan, apa yang membuat telur kalkun jarang masuk ke dapur kita? Jawabannya ada pada faktor ekonomi, produksi, dan kebiasaan budaya.
Baca juga artikel tentang: Mengapa Warna Cangkang Telur Bisa Berbeda? Ini Jawaban dari Ilmu Genetika
Produksi Telur yang Lebih Rendah
Salah satu alasan utama adalah soal produktivitas. Ayam ras petelur bisa menghasilkan 250–300 butir telur per tahun. Itulah mengapa telur ayam sangat melimpah, murah, dan mudah ditemukan di mana-mana.
Sebaliknya, seekor kalkun betina hanya menghasilkan sekitar 100 butir telur per tahun, bahkan bisa kurang. Itu pun sebagian besar kalkun dipelihara bukan untuk telur, melainkan untuk dagingnya. Bagi peternak, kalkun tidak “ekonomis” jika dijadikan unggas petelur.
Lebih Sulit Dipelihara
Kalkun juga dikenal sebagai unggas yang lebih sulit dirawat dibanding ayam. Anak kalkun (disebut poults) lebih rentan terhadap penyakit dan membutuhkan perawatan ekstra. Sementara ayam lebih tangguh, cepat tumbuh, dan bisa dipelihara dalam jumlah besar dengan biaya relatif rendah.
Dengan kata lain, dalam dunia peternakan, ayam jauh lebih efisien sebagai penghasil telur, sementara kalkun lebih efisien sebagai penghasil daging.
Ukuran dan Harga Tidak Kompetitif
Telur kalkun memang lebih besar dari telur ayam. Namun, dari segi harga, kalkun kalah bersaing. Karena produksinya lebih sedikit dan perawatannya lebih rumit, harga satu butir telur kalkun bisa berkali-kali lipat dibanding telur ayam.
Bagi konsumen, membeli telur kalkun bukan pilihan praktis. Misalnya, jika satu butir telur kalkun dihargai setara dengan setengah lusin telur ayam, kebanyakan orang tentu akan memilih telur ayam.

Faktor Budaya dan Kebiasaan
Selain alasan praktis, budaya juga berperan penting. Manusia cenderung melestarikan kebiasaan makan yang sudah ada sejak lama. Telur ayam sudah menjadi standar di hampir semua masyarakat, sementara telur kalkun tidak pernah masuk dalam tradisi kuliner besar.
Di Amerika Serikat, misalnya, kalkun lebih lekat sebagai “ikon Thanksgiving” dibanding sebagai penghasil telur. Di Eropa dan Asia pun, konsumsi telur ayam dan bebek jauh lebih populer. Dengan kata lain, meski telur kalkun bisa dimakan, ia tidak pernah punya “pangsa pasar budaya” yang kuat.
Soal Rasa, Tidak Jauh Beda
Bagi yang penasaran, sebenarnya rasa telur kalkun hampir sama dengan telur ayam, hanya saja kuning telurnya lebih besar dan teksturnya sedikit lebih kental. Jadi, alasan orang tidak memakannya bukan karena rasanya aneh, melainkan karena faktor ekonomi dan kebiasaan tadi.
Dampak Ekonomi Peternakan
Jika ditarik ke dunia peternakan, pilihan untuk tidak membudidayakan kalkun sebagai penghasil telur adalah bentuk efisiensi industri. Dengan fokus pada daging kalkun, peternak bisa lebih hemat biaya dan tetap memenuhi kebutuhan pasar.
Sebaliknya, andai kalkun dibudidayakan khusus untuk telur, biaya produksi akan jauh lebih tinggi, sementara konsumen mungkin enggan membayar mahal. Jadi, dari sisi ekonomi, tidak masuk akal mengembangkan pasar telur kalkun secara massal.
Analogi Sederhana
Untuk memudahkan, bayangkan dua jenis pohon buah. Pohon A bisa menghasilkan 300 buah kecil setiap tahun, sedangkan pohon B hanya menghasilkan 100 buah besar. Meski buah pohon B juga enak dimakan, tentu orang akan lebih memilih menanam pohon A karena hasilnya lebih banyak, murah, dan konsisten. Nah, kalkun ibarat pohon B, sedangkan ayam adalah pohon A.
Apakah Mungkin Telur Kalkun Jadi Tren?
Dalam dunia kuliner modern yang serba kreatif, selalu ada peluang. Telur kalkun mungkin bisa masuk ke pasar khusus, seperti restoran mewah atau produk premium. Namun, untuk menjadi makanan sehari-hari seperti telur ayam, kemungkinannya kecil. Kendala produksi dan harga tetap menjadi faktor pembatas.
Namun, tren “pangan alternatif” yang kini banyak dikembangkan, mulai dari daging buatan laboratorium hingga serangga sebagai sumber protein, menunjukkan bahwa kebiasaan makan bisa berubah seiring waktu. Bukan tidak mungkin suatu hari telur kalkun akan muncul di rak supermarket, meski dalam skala terbatas.
Jadi, alasan utama kita jarang makan telur kalkun bukanlah karena berbahaya atau rasanya aneh, melainkan karena praktik peternakan modern dan kebiasaan budaya. Ayam lebih efisien menghasilkan telur, lebih murah dipelihara, dan sudah terlanjur mengakar dalam tradisi kuliner dunia.
Telur kalkun tetap bisa dimakan dan bergizi, tetapi selama ada telur ayam yang jauh lebih praktis dan ekonomis, telur kalkun kemungkinan besar akan tetap menjadi barang langka.
Dengan memahami hal ini, kita bisa melihat bagaimana ilmu peternakan, ekonomi, dan budaya saling terkait dalam menentukan apa yang ada dan tidak ada di meja makan kita.
Baca juga artikel tentang: Mengurangi Gas Rumah Kaca dari Sapi: Solusi Mengejutkan dari Ampas Kopi
REFERENSI:
Funnell, Rachael. 2025. The Real Reasons We Don’t Eat Turkey Eggs. IFLScience: https://www.iflscience.com/the-real-reasons-we-dont-eat-turkey-eggs-79258 diakses pada tanggal 7 September 2025.
Salgado, José Ignacio dkk. 2025. Characterization of the internal quality of turkey eggs according to their commercial grading. Veterinary and Animal Science, 100470.


