Pakan Bernutrisi tapi Beracun? Fakta Aflatoksin B1 yang Harus Diketahui Peternak

Coba bayangkan seekor ayam atau babi yang setiap hari diberi makan dengan pakan yang tampak segar, sehat, dan kaya nutrisi. Dari luar, tidak ada yang terlihat mencurigakan, pakan itu terlihat biasa saja. Namun, tanpa disadari, di dalamnya bisa tersembunyi zat berbahaya bernama Aflatoksin B1 (AFB1).

Aflatoksin B1 merupakan salah satu jenis mikotoksin, yaitu racun alami yang diproduksi oleh jamur. Jamur penghasil racun ini biasanya berasal dari kelompok Aspergillus, sejenis kapang yang mudah tumbuh pada bahan pangan atau pakan yang disimpan dalam kondisi lembap dan hangat. Beberapa bahan yang sering terkontaminasi jamur ini adalah jagung, kacang tanah, kedelai, dan berbagai bahan baku pakan lainnya.

Walaupun ukurannya sangat kecil dan tidak terlihat oleh mata telanjang, aflatoksin bisa sangat berbahaya. Pada hewan ternak, zat ini dapat mengganggu kesehatan, menurunkan produktivitas, bahkan meracuni tubuh secara perlahan. Karena hewan-hewan tersebut menjadi sumber makanan manusia (daging, telur, atau susu), keberadaan aflatoksin juga berisiko menular ke rantai makanan kita sehari-hari.

Meski jumlahnya kecil, AFB1 bisa memberi dampak besar pada kesehatan ternak. Racun ini menyerang usus dan mikrobiota (bakteri baik dalam usus), merusak sistem pencernaan, hingga menurunkan kemampuan ternak untuk tumbuh. Bagi peternak, artinya adalah pertumbuhan lambat, biaya pakan membengkak, dan hasil panen menurun.

Baca juga artikel tentang: Inovasi Marikultur: Membawa Lobster, Bawal, dan Abalon ke Puncak Pasar Global

Apa yang terjadi dalam tubuh ternak?

Penelitian yang dipublikasikan di Toxins (2025) menjelaskan bahwa AFB1 bisa memicu berbagai kerusakan pada hewan monogastrik (hewan dengan satu perut seperti ayam dan babi). Beberapa efek utama antara lain:

  1. Merusak keseimbangan bakteri usus
    Bakteri baik di usus adalah “prajurit” utama yang membantu pencernaan dan melawan penyakit. AFB1 mengganggu ekosistem ini, sehingga bakteri jahat bisa berkembang.
  2. Memicu stres oksidatif
    Racun ini menyebabkan sel-sel tubuh memproduksi radikal bebas berlebih, yang merusak jaringan tubuh layaknya karat pada besi.
  3. Menurunkan daya tahan tubuh
    AFB1 membuat sistem kekebalan melemah. Akibatnya, ayam dan babi lebih mudah sakit dan membutuhkan lebih banyak perawatan.
  4. Menghambat pencernaan nutrisi
    Penelitian menunjukkan bahwa AFB1 merusak sel usus halus, tempat utama penyerapan nutrisi. Akibatnya, meskipun pakan berkualitas, nutrisi tidak bisa diserap maksimal.
  5. Mengurangi pertambahan bobot badan
    Hasil analisis menunjukkan, semakin banyak AFB1 yang tertelan, semakin rendah pertambahan berat badan harian ayam dan babi.

Dampak nyata bagi peternak

Dari sisi bisnis, efek AFB1 tidak bisa diremehkan. Ayam pedaging misalnya, yang seharusnya tumbuh cepat dalam waktu 30–40 hari, bisa mengalami keterlambatan panen. Babi pun membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai bobot ideal. Ini berarti biaya pakan meningkat, siklus produksi melambat, dan keuntungan peternak menurun.

Selain itu, AFB1 juga bisa meninggalkan residu berbahaya pada produk hewani seperti daging, telur, atau susu. Jika masuk ke rantai makanan manusia, hal ini tentu mengancam kesehatan konsumen.

Grafik peningkatan asupan AFB₁ per bobot badan berhubungan negatif dengan pertambahan bobot harian rata-rata (ADG) baik pada ayam maupun babi, sehingga semakin tinggi paparan AFB₁ semakin besar penurunan pertumbuhan.

Untungnya, sains modern telah menemukan beberapa strategi untuk mengurangi dampak buruk AFB1 pada ternak:

  1. Menggunakan bahan penyerap racun (adsorben)
    Tambahan zat seperti clay (tanah liat khusus) atau sel ragi ke dalam pakan bisa menyerap AFB1 di saluran pencernaan, sehingga racun tidak masuk ke aliran darah.
  2. Menggunakan agen detoksifikasi biologis
    Beberapa bakteri dan jamur baik bisa menghasilkan enzim yang mampu memecah AFB1 menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Contohnya, bakteri Bacillus subtilis.
  3. Mengombinasikan berbagai metode
    Penelitian menyarankan penggunaan kombinasi agen penyerap dan agen biologis, agar perlindungan terhadap ternak lebih maksimal.
  4. Manajemen pakan yang baik
    Pencegahan tetap lebih baik daripada mengobati. Menyimpan bahan pakan di tempat kering, berventilasi baik, serta melakukan kontrol kualitas pakan secara rutin bisa mengurangi risiko kontaminasi.

Pelajaran penting bagi peternakan masa depan

Kasus AFB1 memberi pesan penting: pakan yang terlihat bagus belum tentu bebas dari racun tersembunyi. Peternak perlu lebih waspada dan aktif menggunakan teknologi serta manajemen pakan yang tepat.

Selain itu, regulasi tentang standar keamanan pakan harus terus diperketat. Dengan begitu, tidak hanya ternak yang sehat, tetapi juga manusia sebagai konsumen akhir akan terlindungi dari bahaya mikotoksin.

Menjaga keseimbangan ekosistem usus

Satu hal menarik dari penelitian ini adalah penekanan pada mikrobiota usus. Hewan sehat bergantung pada “hutan kecil” bakteri baik dalam perutnya. AFB1 mengganggu hutan ini, namun dengan intervensi tepat, keseimbangan bisa dipulihkan.

Konsep ini sebenarnya mirip dengan manusia. Saat kita makan makanan sehat dan kaya probiotik, usus kita juga lebih kuat melawan penyakit. Maka, menjaga kesehatan usus ternak lewat pakan yang aman dan berkualitas tinggi adalah kunci menuju peternakan yang berkelanjutan.

Aflatoksin B1 adalah musuh kecil yang bisa menimbulkan kerugian besar di dunia peternakan, terutama ayam dan babi. Dampaknya mencakup kerusakan usus, penurunan daya tahan tubuh, gangguan pertumbuhan, hingga ancaman kesehatan manusia.

Namun, lewat strategi cerdas seperti penggunaan penyerap racun, agen biologis, serta manajemen pakan yang baik, peternak bisa meminimalisasi dampak buruknya. Penelitian terbaru ini memberi harapan bahwa dengan pendekatan ilmiah, kita bisa menjaga ternak tetap sehat, peternak tetap untung, dan konsumen tetap aman.

Baca juga artikel tentang: Ikan Budidaya Lebih Bersih: Peluang Besar untuk Peternak Ikan Masa Depan

REFERENSI:

Choi, Hyunjun dkk. 2025. Aflatoxin B1: challenges and strategies for the intestinal microbiota and intestinal health of monogastric animals. Toxins 17 (1), 43.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top