Ketika mendengar kata “kehilangan ikan”, banyak orang mungkin membayangkan ikan lepas dari kolam atau predator yang menyerang. Padahal, di dunia akuakultur, ada istilah khusus yaitu post-harvest fish losses (PHFL) kerugian yang terjadi setelah ikan dipanen, mulai dari proses penanganan, pengolahan, distribusi, hingga sampai ke konsumen.
Kerugian ini bukan sekadar jumlah ikan yang berkurang, tetapi juga menyangkut penurunan kualitas ikan yang bisa membuatnya tidak layak dikonsumsi. Di Kenya, khususnya di Kakamega County, masalah PHFL menjadi tantangan besar karena langsung memengaruhi keamanan pangan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Sebuah penelitian terbaru menyoroti bagaimana faktor sosial-demografi dan praktik penanganan pascapanen berkontribusi terhadap kerugian ini dalam rantai nilai ikan nila budidaya.
Penelitian ini mengumpulkan data dari 94 pelaku rantai nilai ikan nila, mulai dari petani, pengolah, hingga penjual di pasar. Hasil survei dan observasi menunjukkan gambaran menarik tentang siapa saja yang bekerja di sektor ini:
- 64% peserta adalah perempuan. Hal ini menegaskan peran penting perempuan dalam menjaga keberlanjutan sektor perikanan.
- 40,3% hanya menamatkan sekolah menengah atas, sementara hanya 26,6% yang memiliki sertifikat penanganan makanan yang sah. Artinya, mayoritas pelaku usaha belum mendapatkan pelatihan resmi terkait standar keamanan pangan.
- Ukuran rumah tangga rata-rata 4–9 orang, menunjukkan betapa pentingnya sektor perikanan ini sebagai sumber penghasilan keluarga.
- Pengalaman kerja sangat bervariasi: 33% memiliki 5–10 tahun pengalaman, sementara 17% sudah berkecimpung lebih dari 21 tahun.
Data ini menunjukkan bahwa sektor perikanan nila di Kenya tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat.
Baca juga artikel tentang: Airborne Transmission: Puzzle Baru Penyebaran Flu Burung di Peternakan
Seberapa Besar Kerugiannya?
Kerugian pascapanen ternyata sangat signifikan dan bervariasi tergantung wilayah.
- Kerugian terbesar di tingkat petani terjadi di Butere (32%), sementara yang terendah di Likuyani (8,42%).
- Di tingkat pedagang grosir dan eceran, kerugian juga tinggi, terutama di Mumias East yang mencatat angka kerugian terbesar.
Bayangkan, sepertiga dari hasil panen bisa hilang hanya karena penanganan yang kurang tepat. Ini tentu merugikan petani, pedagang, sekaligus konsumen yang akhirnya mendapatkan ikan berkualitas rendah atau dengan harga lebih mahal.
Apa Penyebab Utamanya?
Analisis statistik dalam studi ini mengungkap bahwa pengalaman sangat berpengaruh. Semakin lama seseorang berkecimpung di sektor ini, semakin rendah tingkat kerugiannya. Hal ini masuk akal: mereka yang berpengalaman biasanya tahu cara menangani ikan dengan lebih hati-hati, menjaga suhu, hingga memilih sarana transportasi yang tepat.
Namun, ada penyebab lain yang lebih teknis, di antaranya:
- Kebersihan yang buruk. Alat dan wadah yang tidak higienis membuat ikan lebih cepat rusak.
- Air yang tidak memadai. Ikan yang dipindahkan atau disimpan tanpa cukup air bersih rentan stres dan mati.
- Pendinginan yang tidak cukup. Ikan segar membutuhkan suhu dingin untuk tetap awet, namun fasilitas ini masih sangat terbatas.
- Kurangnya standar keamanan pangan. Minimnya sertifikasi dan pelatihan membuat praktik penanganan ikan sering asal-asalan.
Gabungan faktor-faktor ini menyumbang 87,2% variasi kerugian pascapanen, angka yang sangat besar dan menunjukkan bahwa masalah ini bisa ditekan jika faktor-faktor tersebut diperbaiki.
Mengapa Penting Mengatasi Masalah Ini?
Kerugian pascapanen bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keamanan pangan dan gizi masyarakat. Ikan nila merupakan sumber protein penting yang relatif murah bagi banyak keluarga. Jika terlalu banyak ikan yang hilang atau rusak, maka:
- Konsumen kehilangan akses ke makanan bergizi.
- Petani kehilangan pendapatan yang seharusnya mereka terima.
- Negara kehilangan potensi pertumbuhan sektor akuakultur.
Dalam konteks global, mengurangi kerugian pangan pascapanen juga berkontribusi pada keberlanjutan dan upaya mengatasi kelaparan.

Apa Solusinya?
Penelitian ini menyarankan beberapa langkah praktis yang bisa diambil untuk mengurangi kerugian pascapanen ikan nila:
- Program pelatihan khusus. Memberikan edukasi tentang sanitasi, penanganan ikan, dan standar keamanan pangan bagi petani, pengolah, dan pedagang.
- Peningkatan infrastruktur. Menyediakan fasilitas pendinginan, transportasi yang lebih baik, serta akses air bersih untuk menjaga kualitas ikan.
- Kebijakan pemerintah. Membuat regulasi yang mendorong penerapan standar penanganan ikan serta memberikan dukungan bagi kelompok masyarakat yang terlibat di rantai nilai.
- Pemberdayaan perempuan. Mengingat mayoritas pelaku usaha adalah perempuan, memberikan akses pelatihan dan modal bagi mereka akan sangat berdampak pada peningkatan kualitas rantai pasokan.
- Kerjasama komunitas. Menguatkan organisasi petani ikan agar mereka bisa berbagi pengalaman, sumber daya, dan akses ke pasar dengan lebih efisien.
Menatap Masa Depan Akuakultur Kenya
Studi di Kakamega County ini memberikan gambaran nyata bahwa kualitas dan keamanan ikan tidak hanya ditentukan saat ikan masih hidup di kolam, tetapi juga setelah dipanen.
Dengan memperbaiki praktik penanganan pascapanen, mengurangi kerugian, dan meningkatkan kualitas ikan, masyarakat tidak hanya mendapat manfaat ekonomi tetapi juga gizi yang lebih baik.
Ikan nila yang sejahtera dalam rantai pasok berarti masyarakat juga akan lebih sejahtera. Kenya, dengan potensi besar di sektor akuakultur, bisa menjadi contoh bagaimana intervensi sederhana seperti pelatihan, sanitasi, dan pendinginan bisa membawa perubahan besar bagi ketahanan pangan.
Baca juga artikel tentang: Probiotik dan Herbal, Duo Ajaib Penjaga Kesehatan Ikan Mas
REFERENSI:
Obar, James Adero dkk. 2025. Impact of Socio‐Demographic Factors and Handling Practices on Post‐Harvest Fish Losses in Kakamega County’s Cultured Tilapia Value Chain. Aquaculture, Fish and Fisheries 5 (1), e70034.


