Setiap hari, miliaran orang di seluruh dunia menikmati makanan dari hewan, seperti daging, susu, telur, dan berbagai produk olahannya. Makanan ini menjadi sumber protein penting yang menunjang kesehatan dan kehidupan manusia. Namun, di balik kenikmatan itu ada sebuah ancaman tersembunyi yang jarang disadari masyarakat luas, yaitu resistensi antimikroba atau disingkat AMR (Antimicrobial Resistance).
AMR terjadi ketika bakteri berubah menjadi kebal terhadap antibiotik, yaitu obat yang seharusnya bisa membunuh atau menghentikan pertumbuhannya. Akibatnya, penyakit yang dulunya mudah diobati dengan antibiotik kini menjadi jauh lebih sulit, bahkan bisa berakibat fatal.
Masalah resistensi ini tidak hanya menyangkut kesehatan hewan ternak yang sering diberi antibiotik untuk mencegah penyakit atau mempercepat pertumbuhan. Dampaknya jauh lebih luas: ia juga berhubungan dengan kesehatan manusia (karena bakteri resisten bisa menular melalui makanan atau lingkungan), keamanan pangan (apakah produk daging, susu, atau telur aman dikonsumsi), dan bahkan kelestarian lingkungan (karena sisa antibiotik dapat mencemari tanah dan air).
Menurut laporan terbaru, jika tidak ada langkah serius yang diambil, AMR bisa menyebabkan 10 juta kematian per tahun dan kerugian ekonomi hingga 100 triliun USD pada 2050. Angka yang lebih besar dari gabungan kematian akibat kanker dan penyakit jantung saat ini.
Antibiotik awalnya digunakan di peternakan dengan niat baik:
- Mengobati hewan sakit – sama seperti manusia, hewan juga bisa sakit akibat bakteri.
- Mencegah penyakit – pada peternakan skala besar, penyakit mudah menyebar, sehingga antibiotik sering dipakai secara rutin.
- Mempercepat pertumbuhan – inilah yang paling kontroversial. Beberapa antibiotik ternyata membuat hewan tumbuh lebih cepat dan lebih gemuk.
Masalah muncul karena pemakaian yang berlebihan dan tidak terkontrol. Antibiotik yang tidak terserap tubuh hewan bisa ikut terbawa dalam daging, susu, atau telur. Lebih jauh lagi, sisa antibiotik ini juga mencemari tanah dan air melalui kotoran hewan.
Baca juga artikel tentang: Budidaya Walet: Cara Baru Desa Mengubah Alam Jadi Peluang Ekonomi yang Menjanjikan
Bagaimana Antibiotik Menyebar ke Lingkungan?
Kontaminasi antibiotik bukan hanya berhenti di kandang. Prosesnya melibatkan rantai panjang:
- Produk hewani: sisa antibiotik bisa ikut terbawa dalam daging, susu, dan telur yang kita konsumsi.
- Kotoran ternak: kotoran dari hewan yang diberi antibiotik bisa mencemari tanah. Saat digunakan sebagai pupuk, residu ini menyebar ke tanaman dan masuk lagi ke rantai makanan.
- Air limbah: kotoran ternak dan limbah peternakan bisa terbawa ke sungai, danau, atau air tanah, sehingga bakteri resisten menyebar lebih luas.
Hasilnya, antibiotik ada di mana-mana: di makanan, tanah, air, bahkan udara. Ini membuat bakteri memiliki lebih banyak kesempatan untuk “belajar” melawan obat.

Tidak seperti COVID-19 yang cepat menyebar dan terlihat, AMR adalah “pandemi senyap”. Kita mungkin tidak langsung merasakannya, tetapi dampaknya berbahaya:
- Infeksi ringan yang dulu mudah diobati menjadi sulit sembuh.
- Operasi besar, persalinan, atau kemoterapi jadi berisiko tinggi karena rawan infeksi yang tak mempan antibiotik.
- Hewan ternak bisa lebih sering sakit, produktivitas menurun, dan harga pangan naik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah AMR adalah masalah One Health, artinya menyangkut manusia, hewan, dan lingkungan secara bersamaan.
Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mengatasi Masalah Ini?
Peneliti dunia sepakat, kita butuh pendekatan holistik. Tidak bisa hanya melarang penggunaan antibiotik, karena hewan tetap butuh pengobatan. Namun, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan:
1. Alternatif Pengganti Antibiotik
- Probiotik & Prebiotik: bakteri baik untuk menjaga kesehatan usus hewan.
- Ekstrak herbal & minyak atsiri: beberapa tanaman punya efek antimikroba alami.
- Vaksin hewan: mencegah penyakit tanpa perlu antibiotik.
- Peptida antimikroba: molekul alami yang bisa melawan bakteri tertentu.
2. Teknologi Ramah Lingkungan
- Nanoteknologi: membantu menargetkan obat secara lebih presisi.
- Pengolahan limbah peternakan: seperti digesti anaerob, biokompos, atau biochar untuk mengurangi residu antibiotik di kotoran ternak.
3. Regulasi yang Lebih Ketat
Beberapa negara maju sudah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan. Namun, di banyak negara berkembang, aturan ini masih longgar. Dibutuhkan kerja sama global agar peraturan lebih seragam dan efektif.
4. Edukasi untuk Peternak dan Konsumen
- Peternak harus diajarkan cara penggunaan antibiotik yang bijak, hanya saat benar-benar diperlukan.
- Konsumen bisa membantu dengan memilih produk hewani yang berlabel bebas antibiotik.
Apa Dampaknya bagi Konsumen?
Sebagai konsumen, mungkin kita bertanya: “Apakah aman makan daging atau minum susu saat ini?” Jawabannya: secara umum aman, karena ada batas maksimum residu antibiotik yang diatur pemerintah. Namun, bahaya jangka panjang bukan dari residu langsung, melainkan dari bakteri resisten yang terbentuk.
Bayangkan jika suatu hari Anda terkena infeksi sederhana, tetapi dokter tidak bisa menemukan antibiotik yang manjur lagi. Inilah risiko nyata yang ingin dicegah para ilmuwan.
Kontaminasi antibiotik dalam pangan, tanah, dan air adalah masalah besar yang tidak bisa diabaikan. AMR adalah ancaman global yang membutuhkan kerja sama lintas sektor ilmuwan, peternak, pemerintah, dan konsumen.
Kita perlu melihat ini sebagai pandemi senyap yang sama seriusnya dengan pandemi penyakit menular lainnya. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita untuk menjaga kesehatan manusia, keberlanjutan lingkungan, dan ketahanan pangan dunia.
Jadi, lain kali ketika kita menikmati sepotong daging atau segelas susu, mari ingat bahwa di baliknya ada perjuangan besar: menjaga agar antibiotik tetap ampuh, hewan tetap sehat, dan bumi tetap lestari.
Baca juga artikel tentang: Inovasi Hijau: Dari Cangkang Udang ke Pakan Akuakultur Bernutrisi Tinggi
REFERENSI:
Robles-Jimenez, Lizbeth E dkk. 2025. Recent Developments in Antibiotic Contamination of Animal Products, Soil, and Water Worldwide–A Review. Annals of Animal Science 25 (1), 83-102.


