Bayangkan sebuah kolam ikan yang setiap hari digunakan untuk membesarkan ratusan atau ribuan ikan. Air kolam ini perlahan-lahan akan penuh dengan sisa pakan, kotoran ikan, serta bahan organik lainnya. Jika tidak dikelola dengan baik, air akan menjadi keruh, kualitas oksigen menurun, dan ikan bisa stres atau sakit. Masalah ini tidak hanya mengurangi produktivitas, tapi juga bisa berdampak pada lingkungan ketika air kolam dibuang ke sungai atau lahan sekitar.
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Israa Abdulwahab Al-Baldawi dan Ameer Hussain (2025) mencoba menawarkan solusi yang ramah lingkungan: menggunakan koagulan hijau (green coagulant) untuk membersihkan air kolam ikan.
Baca juga artikel tentang: Airborne Transmission: Puzzle Baru Penyebaran Flu Burung di Peternakan
Apa itu Koagulasi-Flokulasi?
Koagulasi-flokulasi adalah proses kimia-fisika yang umum dipakai dalam pengolahan air. Intinya, kita menambahkan bahan tertentu ke dalam air kotor sehingga partikel kecil yang mengambang akan menggumpal dan mengendap. Bayangkan Anda meneteskan perasan jeruk nipis ke dalam susu: susu akan langsung menggumpal. Prinsip yang mirip juga dipakai dalam membersihkan air.
Biasanya, koagulan yang digunakan adalah bahan kimia sintetis seperti alumunium sulfat atau polielektrolit sintetis. Namun, bahan ini bisa mahal, sulit diurai, bahkan meninggalkan residu yang tidak baik untuk lingkungan. Oleh karena itu, para peneliti mencari alternatif dari bahan alami yang lebih aman, murah, dan tersedia di sekitar kita.
Bahan Ajaib dari Limbah Buah
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memakai serat alami dari tongkol kelapa sawit (palm pith) dan kulit semangka (watermelon rind) sebagai koagulan hijau. Mungkin terdengar aneh, tapi sebenarnya limbah ini kaya akan bahan selulosa dan zat aktif yang bisa membantu proses penggumpalan partikel di air.
Mereka melakukan uji coba dengan mencampurkan koagulan hijau dalam konsentrasi berbeda (100, 300, dan 500 mg/L) ke dalam air kolam ikan. Lalu, kualitas air diuji dengan beberapa parameter:
- Kekeruhan (turbidity) → seberapa keruh air
- Total Suspended Solid (TSS) → jumlah padatan melayang
- Total Dissolved Solid (TDS) → jumlah zat terlarut
- Kandungan fosfat (PO4) dan nitrat (NO3) → indikator nutrien dalam air
Hasilnya cukup mengesankan. Dengan dosis 100 mg/L, kekeruhan bisa berkurang hingga 87–90%, TSS turun 72–86%, dan TDS berkurang hingga 9%. Artinya, air kolam jadi jauh lebih jernih dan sehat untuk ikan.

Dari Limbah Kolam Jadi Pupuk
Menariknya, penelitian ini juga menemukan bahwa selama proses koagulasi-flokulasi, sebagian nutrien seperti fosfat dan nitrat tetap tersisa dalam lumpur hasil pengendapan. Alih-alih dianggap limbah, endapan ini justru bisa dimanfaatkan kembali.
Dengan analisis menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR), para peneliti menemukan bahwa bahan organik dalam koagulan hijau ikut menyumbang nutrien. Hasilnya, air sisa yang sudah diolah bisa dipakai sebagai air irigasi untuk tanaman, sedangkan endapan lumpur kaya nutrien bisa dijadikan pupuk organik.
Ini berarti ada sistem sirkular: limbah kolam ikan yang awalnya berbahaya bisa diubah menjadi sumber daya baru yang bermanfaat untuk pertanian.
Manfaat Ganda untuk Peternak Ikan
Bagi peternak ikan, penerapan teknologi sederhana ini bisa memberikan beberapa keuntungan:
- Kesehatan ikan lebih terjaga → Air yang lebih bersih mengurangi risiko penyakit dan stres pada ikan, sehingga pertumbuhan lebih optimal.
- Biaya operasional lebih murah → Tidak perlu membeli bahan kimia mahal, cukup memanfaatkan limbah pertanian atau buah-buahan.
- Mengurangi pencemaran lingkungan → Air buangan kolam lebih ramah lingkungan, tidak mencemari sungai atau sawah.
- Produk sampingan bermanfaat → Endapan nutrien bisa digunakan untuk memupuk tanaman, menambah pendapatan petani.
Dengan kata lain, pendekatan ini membantu menciptakan sistem akuakultur yang lebih berkelanjutan dan hemat biaya.
Tantangan dan Arah ke Depan
Tentu saja, penelitian ini masih dilakukan dalam skala laboratorium dengan kondisi terkontrol. Di lapangan, banyak faktor lain yang perlu diperhitungkan: variasi kualitas air, jenis ikan yang dipelihara, hingga cara pengaplikasian koagulan hijau dalam jumlah besar.
Namun, ide ini membuka jalan untuk teknologi sederhana yang bisa diterapkan di banyak tempat, terutama negara-negara berkembang di mana limbah pertanian melimpah dan petani ikan sering menghadapi masalah kualitas air.
Penelitian lanjutan mungkin akan berfokus pada:
- Skala produksi besar untuk tambak komersial.
- Kombinasi dengan teknologi lain seperti biofilter atau tanaman air.
- Analisis dampak ekonomi jangka panjang untuk petani.
Dari Kolam ke Sawah: Masa Depan Pertanian Terpadu
Salah satu hal paling menarik dari penelitian ini adalah peluang untuk menghubungkan budidaya ikan dengan pertanian darat. Limbah ikan yang sudah diolah bisa menjadi pupuk untuk padi, jagung, atau sayuran. Sebaliknya, limbah pertanian seperti kulit semangka atau tongkol sawit bisa kembali digunakan sebagai koagulan untuk membersihkan air kolam.
Ini adalah contoh nyata dari pertanian terpadu yang hemat sumber daya, ramah lingkungan, dan menguntungkan petani kecil.
Air kolam ikan yang kotor sering dianggap masalah besar dalam budidaya. Tapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa dengan sedikit kreativitas, masalah bisa berubah menjadi peluang. Pemanfaatan koagulan hijau dari limbah pertanian bukan hanya membuat air kolam lebih bersih, tapi juga menghasilkan produk sampingan yang bermanfaat bagi pertanian.
Jika teknologi ini bisa diterapkan secara luas, kita bisa membayangkan masa depan di mana budidaya ikan tidak hanya menghasilkan protein murah untuk manusia, tetapi juga menjadi bagian penting dari sistem pertanian yang berkelanjutan. Dengan begitu, satu tetes air kolam bisa memberi kehidupan bukan hanya bagi ikan, tapi juga bagi tanaman, tanah, dan manusia.
Baca juga artikel tentang: Probiotik dan Herbal, Duo Ajaib Penjaga Kesehatan Ikan Mas
REFERENSI:
Al-Baldawi, Israa Abdulwahab & Hussain, Ameer. 2025. Nutrient fate after the coagulation–flocculation process of fish-farm water using green coagulant. Journal of Ecological Engineering 26 (5).


