Dari Larva Jadi Pakan: Solusi Hijau Peternakan Modern

Peternakan modern menghadapi dua tantangan besar: memenuhi kebutuhan protein hewani yang terus meningkat dan mengurangi dampak lingkungan dari produksi ternak. Saat ini, sebagian besar pakan ternak berasal dari jagung, kedelai, atau biji-bijian lain. Namun, produksi pakan berbasis tanaman skala besar memerlukan lahan luas, air yang banyak, dan sering kali mendorong deforestasi.

Di sisi lain, peternakan juga dituding sebagai penyumbang besar emisi gas rumah kaca, terutama metana dan karbon dioksida. Kondisi ini mendorong para peneliti mencari alternatif pakan yang lebih berkelanjutan dan tetap bergizi. Salah satu kandidat yang semakin mendapat perhatian adalah serangga.

Baca juga artikel tentang: Produktivitas Tinggi Ikan Red Devil: Ancaman atau Sumber Baru untuk Peternak?

Mengapa Serangga?

Mungkin bagi sebagian orang, ide memberi makan ternak dengan serangga terdengar aneh. Namun sebenarnya, di alam liar banyak hewan sudah terbiasa makan serangga. Ayam kampung, misalnya, sering mencari cacing, belalang, atau larva sebagai sumber protein alami.

Serangga memiliki beberapa keunggulan dibanding pakan konvensional:

  • Kaya protein dan nutrisi esensial. Larva lalat tentara hitam (black soldier fly larvae), ulat hongkong (mealworm), dan jangkrik mengandung protein, asam amino, lemak sehat, serta mineral penting.
  • Mudah dibudidayakan. Serangga bisa diternakkan dalam ruang kecil, dengan kebutuhan air dan lahan yang minim.
  • Bahan baku fleksibel. Serangga bisa dibesarkan dengan memanfaatkan limbah organik seperti sisa makanan, ampas sayuran, atau kotoran ternak. Ini membantu mengurangi sampah sekaligus menghasilkan pakan bergizi.
  • Ramah lingkungan. Produksi serangga menghasilkan emisi gas rumah kaca jauh lebih rendah dibanding pakan berbasis kedelai atau jagung.
Pengelolaan padang rumput yang tepat menghasilkan tanah subur, pakan berkualitas, dan pemantauan digital yang mendukung kesejahteraan ternak, menurunkan emisi, serta meningkatkan kualitas produk, pendapatan, dan kesejahteraan petani.

Dari sisi nutrisi, serangga bisa menyaingi bahkan melampaui pakan konvensional. Kandungan proteinnya berkisar antara 40–70%, tergantung jenis serangga. Selain itu, serangga juga kaya:

  • Asam amino esensial, penting untuk pertumbuhan dan kesehatan hewan.
  • Asam lemak, termasuk omega-3 dan omega-6.
  • Mineral seperti kalsium, zat besi, dan seng.

Bagi ayam, ikan, dan babi, pakan berbasis serangga terbukti mendukung pertumbuhan normal, meningkatkan kualitas daging, bahkan memperkuat daya tahan tubuh.

Lingkungan Jadi Lebih Sehat

Salah satu alasan utama serangga dianggap pakan masa depan adalah dampaknya yang lebih ringan pada lingkungan. Dibandingkan produksi kedelai atau jagung, peternakan serangga:

  • Membutuhkan lebih sedikit lahan.
  • Memakai lebih sedikit air.
  • Menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca.
  • Bisa memanfaatkan limbah organik yang seharusnya berakhir di tempat pembuangan sampah.

Dengan kata lain, serangga membantu menciptakan sistem pertanian sirkular, di mana limbah bisa diubah menjadi sumber daya baru.

Kandungan nutrisi bervariasi antar serangga, dengan larva mealworm memiliki kadar tertinggi pada CP, CF, dan abu, sedangkan belalang relatif lebih rendah pada semua parameter.

Meski penuh potensi, penerapan pakan serangga belum sepenuhnya mulus. Ada beberapa tantangan besar yang perlu diatasi:

  1. Regulasi dan persetujuan pemerintah. Tidak semua negara sudah memiliki aturan jelas tentang penggunaan serangga sebagai pakan ternak.
  2. Penerimaan konsumen. Beberapa orang mungkin ragu atau merasa tidak nyaman jika produk daging, susu, atau telur berasal dari hewan yang diberi pakan serangga.
  3. Skalabilitas produksi. Untuk menggantikan pakan konvensional, budidaya serangga harus bisa dilakukan dalam skala besar, konsisten, dan ekonomis.
  4. Kualitas nutrisi yang stabil. Kandungan gizi serangga bisa bervariasi tergantung jenis limbah atau bahan yang digunakan untuk membesarkannya.

Inovasi dan Harapan Masa Depan

Para peneliti percaya tantangan tersebut bisa diatasi dengan kombinasi riset, inovasi, dan dukungan kebijakan. Beberapa langkah yang sedang dikembangkan antara lain:

  • Teknologi budidaya serangga skala industri dengan kontrol suhu, kelembaban, dan nutrisi.
  • Standarisasi proses produksi untuk memastikan kualitas gizi serangga tetap konsisten.
  • Edukasi kepada konsumen bahwa pakan serangga aman, bergizi, dan bahkan lebih ramah lingkungan.
  • Kebijakan pemerintah yang mendukung integrasi serangga ke dalam sistem pakan nasional.

Jika hal ini berhasil diterapkan, serangga bisa menjadi bagian penting dalam sistem pangan global, membantu mengurangi ketergantungan pada pakan berbasis biji-bijian, sekaligus menurunkan jejak karbon peternakan.

Serangga dalam Kehidupan Sehari-hari

Sebenarnya, gagasan menggunakan serangga bukan hal baru. Di beberapa budaya, serangga sudah lama jadi makanan manusia—mulai dari belalang goreng di Thailand, ulat sagu di Papua, hingga jangkrik di Afrika. Jika manusia saja bisa mengonsumsinya, tentu ternak pun bisa mendapatkan manfaat serupa.

Yang membedakan adalah cara mengintegrasikan serangga dalam sistem peternakan modern. Daripada hanya mengandalkan pakan impor yang mahal dan boros sumber daya, serangga bisa diproduksi lokal, murah, dan berkelanjutan.

Pakan ternak berbasis serangga bukan lagi sekadar ide aneh, melainkan solusi nyata untuk menghadapi tantangan pangan dan lingkungan abad ke-21.

Dengan kandungan protein tinggi, budidaya yang hemat sumber daya, serta potensi mengurangi limbah organik, serangga bisa menjadi pilar penting dalam menciptakan peternakan berkelanjutan. Memang masih ada tantangan regulasi, penerimaan, dan teknologi, tetapi arah masa depan cukup jelas: peternakan cerdas akan semakin ramah lingkungan dengan bantuan serangga kecil yang penuh manfaat ini.

Baca juga artikel tentang: Inovasi Marikultur: Membawa Lobster, Bawal, dan Abalon ke Puncak Pasar Global

REFERENSI:

Fu, Chun dkk. 2025. Insects as Sustainable feed: Enhancing animal nutrition and reducing livestock environmental impression. Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition 109 (2), 280-290.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top