Chitosan Nanokomposit: Teknologi Hijau untuk Peternakan Ikan Sehat

Pernahkah Anda membayangkan bahwa pakan ikan yang terlihat biasa saja ternyata bisa menyimpan racun berbahaya di dalamnya? Dalam dunia akuakultur (budidaya ikan dan organisme air lainnya), salah satu ancaman serius yang perlu diwaspadai adalah aflatoksin.

Aflatoksin adalah racun alami yang diproduksi oleh jenis jamur tertentu, khususnya jamur dari genus Aspergillus. Racun ini sangat berbahaya karena sifatnya tahan panas dan bisa menumpuk dalam tubuh hewan maupun manusia yang mengonsumsinya. Jika ikan memakan pakan yang terkontaminasi, racun ini bisa berpindah ke tubuh manusia saat ikan tersebut dikonsumsi.

Kontaminasi aflatoksin biasanya terjadi pada bahan baku pakan seperti jagung, kacang tanah, dan gandum. Bahan-bahan ini menjadi rentan terinfeksi jamur ketika disimpan dalam kondisi lembap, panas, atau tanpa ventilasi yang baik. Lingkungan seperti itu merupakan tempat ideal bagi jamur untuk tumbuh dan menghasilkan aflatoksin.

Dengan kata lain, masalah aflatoksin bukan hanya soal kualitas pakan ikan, tetapi juga menyangkut keamanan pangan dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, penanganan penyimpanan bahan baku pakan sangat penting untuk mencegah timbulnya racun berbahaya ini.

Bagi manusia, aflatoksin dikenal sebagai karsinogen (penyebab kanker) yang sangat berbahaya. Namun, pada ikan, zat ini juga memicu masalah besar: menurunkan daya tahan tubuh, memperlambat pertumbuhan, merusak organ hati, bahkan meningkatkan risiko kematian. Jika ikan yang sakit ini masuk ke rantai makanan manusia, dampaknya bisa meluas ke kesehatan kita juga.

Singkatnya, aflatoksin bukan hanya musuh peternak ikan, tetapi juga ancaman bagi konsumen di meja makan. Karena itu, dunia riset berlomba mencari cara murah, aman, dan berkelanjutan untuk menyingkirkan racun ini dari pakan.

Baca juga artikel tentang: Produktivitas Tinggi Ikan Red Devil: Ancaman atau Sumber Baru untuk Peternak?

Solusi dari Alam: Chitosan

Di sinilah chitosan muncul sebagai pahlawan tak terduga. Chitosan adalah senyawa alami yang diekstrak dari kitin, zat keras yang membentuk cangkang udang, kepiting, dan lobster. Biasanya, limbah kulit udang hanya menjadi sampah, tapi dengan teknologi, ia bisa diubah menjadi bahan berharga.

Chitosan terkenal punya banyak fungsi: dari industri kesehatan, pertanian, hingga kosmetik. Dalam konteks pakan ikan, chitosan bertindak seperti spons alami. Bayangkan racun aflatoksin sebagai noda berbahaya di air, lalu chitosan berperan menyerap dan menjebak racun itu agar tidak bisa diserap tubuh ikan.

Apa itu Nanochitosan?

Untuk meningkatkan efektivitasnya, para ilmuwan mengembangkan nanochitosan. Sesuai namanya, partikel chitosan dibuat dalam ukuran sangat kecil, seukuran nanometer (satu per miliar meter).

Mengapa dibuat sekecil itu? Karena semakin kecil ukurannya, semakin luas permukaan yang tersedia untuk “menangkap” racun. Ibaratnya, nanochitosan bukan hanya spons, tapi spons super halus dengan ribuan pori-pori yang bisa menyerap racun lebih cepat dan lebih banyak.

Hasil Riset: Chitosan vs Aflatoksin

Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Egyptian Journal of Veterinary Sciences (2025) menguji delapan formulasi berbeda berbasis chitosan, mulai dari chitosan biasa, nanochitosan, hingga kombinasi dengan bahan tambahan seperti mannan oligosakarida (MOS) dan bentonit (Bn).

Hasilnya cukup mencengangkan:

  • Formulasi terbaik (nanochitosan + MOS + bentonit) mampu menyerap hingga 74,77% aflatoksin.
  • Chitosan biasa dan nanochitosan murni juga menunjukkan kinerja tinggi, dengan penyerapan di atas 67%.
  • Kombinasi lainnya, meski tidak seefektif, tetap memberi hasil moderat (60%–68%).
  • Namun, ada juga formulasi dengan daya serap lebih rendah, sekitar 59%, tergantung kondisi pH dan suhu.

Penelitian ini membuktikan bahwa chitosan, terutama yang diformulasikan sebagai nanokomposit bisa menjadi alat biologis yang sangat ampuh untuk membersihkan racun di pakan ikan.

Spektrum FTIR pada gambar menunjukkan perbedaan karakteristik gugus fungsi dari Chitosan (CS), Bentonite (Bn), Mannan oligosakarida (MOS), serta kombinasi keduanya yang menegaskan adanya interaksi kimia pada campuran.

Bagi peternak ikan, tantangan terbesar adalah menjaga agar ikan tetap sehat, cepat tumbuh, dan menghasilkan panen berkualitas. Aflatoksin jelas menghambat semua itu. Jika dibiarkan, ikan akan stres, mudah terserang penyakit, dan tingkat kematian meningkat. Akhirnya, peternak mengalami kerugian besar.

Dengan adanya solusi berbasis chitosan, peternak bisa lebih tenang. Tidak hanya karena pakan jadi lebih aman, tapi juga karena pendekatan ini:

  • Ramah lingkungan: chitosan berasal dari limbah perikanan (kulit udang/kepiting) yang sebelumnya dibuang.
  • Ekonomis: jika diproduksi massal, biaya chitosan bisa ditekan karena bahan bakunya melimpah.
  • Sehat untuk ikan dan manusia: bebas bahan kimia keras, sehingga aman untuk rantai pangan.
Gambar SEM menunjukkan morfologi berpori dari berbagai sampel nanokomposit kitosan (dengan MOS dan/atau bentonit), menegaskan perbedaan struktur dan distribusi partikel pada tiap kombinasi.

Meski hasil riset menjanjikan, ada beberapa tantangan yang perlu diselesaikan:

  1. Skala Produksi – Bagaimana memproduksi chitosan nanokomposit dalam jumlah besar dengan harga terjangkau?
  2. Stabilitas – Efektivitas chitosan masih dipengaruhi pH dan suhu. Diperlukan teknologi tambahan agar tetap stabil di berbagai kondisi penyimpanan pakan.
  3. Regulasi – Sebelum digunakan secara luas, perlu ada standar keamanan dan persetujuan dari lembaga pangan dan kesehatan.

Para ilmuwan optimistis bahwa dengan penelitian lanjutan, chitosan bisa benar-benar menjadi standar emas dalam strategi berkelanjutan untuk mengatasi aflatoksin di akuakultur.

Cerita chitosan adalah contoh nyata bagaimana ilmu pengetahuan mengubah limbah menjadi solusi bernilai tinggi. Dari kulit udang yang biasanya terbuang, lahirlah bahan biopolimer yang mampu melindungi ikan dari racun mematikan.

Jika teknologi ini terus dikembangkan, bukan hanya peternak ikan yang diuntungkan. Konsumen juga mendapat jaminan ikan yang lebih sehat, sementara lingkungan terbebas dari limbah beracun dan emisi berlebih.

Jadi, lain kali Anda melihat kulit udang di meja makan, ingatlah bahwa di baliknya ada potensi besar menyelamatkan industri akuakultur dunia.

Baca juga artikel tentang: Inovasi Marikultur: Membawa Lobster, Bawal, dan Abalon ke Puncak Pasar Global

REFERENSI:

Ghobish, Ahmed M dkk. 2025. Investigating the potential of chitosan-nanocomposites as a bio-based adsorbent for sustainable aflatoxin eradication from fish feed. Egyptian Journal of Veterinary Sciences.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top