Bioekonomi Sirkular: Saat Sampah Makanan Memberi Makan Ternak

Setiap hari, jutaan ton makanan terbuang di seluruh dunia. Mulai dari sisa sayuran di dapur rumah tangga, buah yang rusak di pasar, hingga produk olahan yang kadaluarsa di industri makanan. Limbah ini biasanya hanya berakhir di tempat pembuangan akhir, menimbulkan bau tak sedap, mencemari lingkungan, dan menghasilkan gas metana yang memperparah perubahan iklim.

Padahal, limbah makanan masih mengandung banyak zat gizi, terutama karbohidrat dan protein, yang bisa dimanfaatkan kembali. Pertanyaannya: bagaimana caranya mengubah sampah ini menjadi sesuatu yang bermanfaat?

Sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di Biomass Conversion and Biorefinery (2025) menawarkan jawaban menarik. Para ilmuwan berhasil mengolah berbagai jenis limbah makanan menjadi bioetanol, bahan bakar ramah lingkungan sekaligus menghasilkan produk samping yang bisa digunakan sebagai pakan ternak. Inilah konsep bioekonomi sirkular, di mana limbah tidak lagi menjadi masalah, melainkan sumber daya baru.

Baca juga artikel tentang: Inovasi Hijau: Dari Cangkang Udang ke Pakan Akuakultur Bernutrisi Tinggi

Dari Kentang Hingga Buah-Buahan: Bahan Baku yang Beragam

Dalam studi ini, peneliti menggunakan sepuluh jenis limbah makanan yang kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar:

  1. EAS (Easy Available Substrates) – limbah yang mudah diolah, seperti kentang.
  2. BNCP (By-products of Processed Foods) – limbah dari makanan olahan.
  3. ABP (Agro-based Products) – limbah dari buah-buahan.

Masing-masing jenis limbah ini diproses dengan bantuan enzim seperti α-amilase, amiloglukosidase, pektinase, dan selulase. Enzim-enzim ini berfungsi memecah pati, serat, dan komponen kompleks menjadi gula sederhana yang lebih mudah difermentasi menjadi etanol.

Hasilnya, limbah kentang dan makanan olahan menunjukkan tingkat keberhasilan tertinggi dalam menghasilkan gula siap fermentasi. Artinya, bahan ini sangat cocok untuk dijadikan sumber bioetanol.

Proses hidrolisis bahan pangan sisa (kentang, produk industri, buah) untuk menghasilkan gula pereduksi dan residu kaya protein sebagai pakan, yang kemudian difermentasi dengan atau tanpa suplementasi Spirulina platensis untuk meningkatkan efisiensi fermentasi.

Limbah makanan tidak bisa langsung diubah menjadi bioetanol. Ada beberapa tahap penting yang harus dilalui:

  1. Gelatinisasi – proses pemanasan limbah berair untuk melunakkan pati.
  2. Sonikasi (Ultrasonic Treatment) – penggunaan gelombang ultrasonik untuk memecah partikel limbah sehingga enzim lebih mudah bekerja.
  3. Hidrolisis Enzimatis – enzim bekerja memecah molekul besar menjadi gula sederhana.
  4. Fermentasi – ragi atau mikroorganisme lain mengubah gula menjadi etanol.

Dalam beberapa percobaan, peneliti juga menambahkan mikroalga Spirulina platensis sebagai sumber mikronutrien untuk memperkaya proses fermentasi. Hasilnya, kadar bioetanol meningkat hingga 55,4% dibandingkan proses tanpa penambahan.

Bioetanol: Energi Ramah Lingkungan

Bioetanol adalah sejenis alkohol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti bensin. Selama ini, bioetanol biasanya dibuat dari jagung atau tebu. Namun, penggunaan tanaman pangan menimbulkan dilema: apakah lebih baik untuk bahan bakar atau untuk makanan?

Dengan menggunakan limbah makanan, dilema itu bisa dihindari. Energi tetap dihasilkan, tetapi tanpa mengorbankan ketersediaan pangan. Bahkan, penelitian ini menunjukkan bahwa hasil fermentasi dari kentang dan makanan olahan mampu menghasilkan bioetanol dengan efisiensi yang cukup tinggi, bahkan lebih dari 80% pada beberapa sampel.

Produk Samping: Pakan Ternak Bernutrisi

Selain menghasilkan bioetanol, proses ini juga menyisakan produk samping yang kaya karbohidrat dan protein. Inilah yang kemudian bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak.

Bayangkan: limbah makanan yang tadinya hanya jadi masalah lingkungan, kini bisa diubah menjadi dua hal sekaligus, energi ramah lingkungan dan sumber pakan bergizi untuk hewan.

Para peneliti menekankan bahwa kandungan protein dan karbohidrat dari hasil hidrolisis sangat tinggi, sehingga bisa menjadi alternatif bahan baku pakan yang murah dan berkelanjutan. Dengan demikian, teknologi ini mampu menjawab dua tantangan besar sekaligus: krisis energi dan biaya pakan yang terus meningkat.

Keuntungan Bioekonomi Sirkular

Pendekatan ini selaras dengan konsep bioekonomi sirkular, yaitu model ekonomi yang berusaha memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam dengan meminimalkan limbah. Beberapa manfaat yang bisa didapatkan dari penerapan teknologi ini antara lain:

  1. Mengurangi limbah makanan – sampah organik yang biasanya menumpuk di TPA bisa dimanfaatkan kembali.
  2. Menghasilkan energi hijau – bioetanol bisa digunakan sebagai campuran bahan bakar kendaraan, mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
  3. Menyediakan pakan ternak alternatif – hasil samping fermentasi bisa mengurangi biaya produksi peternakan.
  4. Mengurangi jejak karbon – limbah makanan tidak lagi menghasilkan metana di TPA, tetapi diubah menjadi produk berguna.
  5. Meningkatkan ekonomi lokal – peternak dan industri kecil bisa mendapat manfaat dari bahan pakan murah dan energi alternatif.

Tantangan yang Masih Dihadapi

Meski menjanjikan, masih ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan sebelum teknologi ini bisa diterapkan secara luas:

  • Biaya produksi: proses enzimatis masih relatif mahal, meski semakin lama teknologi enzim semakin efisien.
  • Standarisasi produk samping: kualitas pakan dari limbah makanan perlu diuji lebih lanjut agar aman untuk semua jenis ternak.
  • Skala industri: penerapan di laboratorium sudah berhasil, tapi butuh uji coba dalam skala besar agar benar-benar layak komersial.

Namun, dengan meningkatnya perhatian dunia terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan, penelitian ini bisa menjadi landasan penting untuk pengembangan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa limbah makanan tidak harus berakhir sebagai sampah. Dengan pendekatan sains dan teknologi, makanan yang terbuang bisa diubah menjadi bioetanol untuk energi dan pakan bergizi untuk ternak.

Bagi dunia peternakan, inovasi ini bisa menekan biaya pakan yang seringkali membebani peternak. Bagi lingkungan, teknologi ini mengurangi polusi dan emisi gas rumah kaca. Dan bagi masyarakat luas, ini adalah langkah nyata menuju ekonomi yang lebih sirkular, berkelanjutan, dan ramah bumi.

Seperti kata pepatah, “sampahmu adalah hartaku” dan dengan inovasi seperti ini, pepatah tersebut semakin terbukti benar.

Baca juga artikel tentang: Budidaya Walet: Cara Baru Desa Mengubah Alam Jadi Peluang Ekonomi yang Menjanjikan

REFERENSI:

Bender, Leticia Eduarda dkk. 2025. Utilization of food waste for bioethanol production in a circular bioeconomy approach. Biomass Conversion and Biorefinery 15 (6), 8525-8541.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top