Bertarung dengan Pakan Impor dan Iklim: Potret Nyata Peternakan Unggas Indonesia

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil unggas terbesar di Asia Tenggara. Permintaan daging ayam dan telur terus meningkat, terutama karena keduanya menjadi sumber protein yang paling terjangkau bagi masyarakat. Saat pandemi COVID-19 misalnya, ketika daya beli masyarakat menurun, ayam dan telur semakin digemari karena harganya jauh lebih murah dibandingkan daging sapi atau ikan.

Namun di balik tingginya permintaan, sektor peternakan unggas Indonesia menghadapi berbagai tantangan besar. Mulai dari ketergantungan impor bahan pakan, rendahnya penerapan biosekuriti, hingga dampak perubahan iklim. Semua hal ini membuat keberlanjutan usaha peternakan ayam, baik daging (broiler) maupun telur berada pada titik kritis.

Baca juga artikel tentang: Lebih dari Sekadar Sawah: Bagaimana Peternakan Itik Membantu Petani Lawan Hama dan Hemat Pupuk

Ayam Jadi Penyelamat Piring Makan Rakyat

Dibandingkan dengan komoditas ternak lain, ayam memiliki keunggulan besar: harganya relatif murah, siklus produksi cepat, dan mudah dijangkau. Tidak heran kalau ayam dan telur menyumbang lebih dari 60% konsumsi protein hewani di Indonesia.

Di sisi lain, kontribusi unggas dalam nilai total komoditas pertanian Indonesia masih terbilang kecil: hanya sekitar 1,26% untuk ayam pedaging (broiler) dan 0,41% untuk telur. Artinya, masih ada ruang sangat besar untuk meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap ekonomi nasional.

Data impor kedelai Indonesia menurut negara asal pada tahun 2017–2023.

Salah satu kendala utama yang disoroti adalah ketergantungan besar pada bahan pakan impor, terutama bungkil kedelai (soybean meal) dan jagung. Menurut data USDA, Indonesia mengimpor sekitar 4,4 juta ton bungkil kedelai per tahun untuk memenuhi kebutuhan industri pakan.

Bayangkan, tanpa impor ini, produksi unggas bisa lumpuh. Padahal pakan menyumbang 60–70% dari total biaya produksi ayam. Ketika harga jagung atau kedelai dunia melonjak, peternak kita ikut kelimpungan.

Kabar baiknya, sejumlah pabrik pakan lokal kini mulai berkembang pesat. Produksi tahunan sudah mencapai sekitar 572 ribu ton. Tetapi tetap saja, untuk bahan baku strategis seperti kedelai, Indonesia masih bergantung pada pasar global.

Skala Besar vs Skala Kecil

Struktur peternakan unggas di Indonesia sangat beragam. Sekitar 60% dikelola perusahaan besar dengan sistem modern, sementara 40% sisanya dikelola oleh peternak kecil hingga menengah.

Perusahaan besar biasanya sudah punya fasilitas biosekuriti lengkap: kandang tertutup, ventilasi modern, vaksinasi teratur, hingga sistem monitoring digital. Sebaliknya, banyak peternak kecil masih memakai kandang terbuka sederhana, sanitasi minim, dan kontrol penyakit seadanya.

Kesenjangan ini menjadi masalah serius. Mengapa? Karena penyakit menular tidak kenal batas kandang. Jika ada wabah flu burung misalnya, dampaknya bisa meluas ke mana-mana, tidak peduli itu peternakan modern atau tradisional.

Tantangan Pasca Larangan Antibiotik

Sejak pemerintah melarang penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promoters), sektor unggas Indonesia sempat goyah. Antibiotik sebelumnya dianggap “penjaga produktivitas” karena ayam bisa tumbuh lebih cepat dan sehat.

Namun dari sisi kesehatan masyarakat, larangan ini penting untuk mencegah resistensi antibiotik. Jadi peternak mau tak mau harus mencari cara lain untuk menjaga performa ayamnya.

Beberapa solusi yang mulai diterapkan adalah penggunaan probiotik, prebiotik, enzim pakan, hingga manajemen kandang yang lebih higienis. Tantangannya, teknologi ini belum merata di semua level peternak, terutama di skala kecil yang modalnya terbatas.

Perubahan Iklim: Musuh yang Tak Terlihat

Isu besar lain yang kerap dilupakan adalah perubahan iklim. Ayam adalah hewan yang sangat sensitif terhadap suhu dan kelembaban. Ketika cuaca ekstrem terjadi — misalnya gelombang panas — angka kematian ayam bisa meningkat tajam, apalagi di kandang terbuka.

Belum lagi ancaman banjir yang bisa merusak infrastruktur kandang dan memicu penyebaran penyakit. Sayangnya, masih banyak peternak kecil yang belum menerapkan langkah adaptasi iklim, seperti penggunaan sistem pendingin, manajemen ventilasi, atau pemilihan lokasi kandang yang lebih aman.

Jalan Keluar: Teknologi dan Kolaborasi

Lalu bagaimana agar peternakan ayam di Indonesia bisa lebih berkelanjutan? Penelitian ini menekankan tiga hal utama:

  1. Penerapan Teknologi
    Digitalisasi peternakan (smart farming) makin dibutuhkan. Contohnya sensor suhu dan kelembaban otomatis, sistem pemberian pakan berbasis aplikasi, atau platform data kesehatan ayam. Teknologi ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tapi juga membantu efisiensi biaya.
  2. Regulasi dan Kebijakan yang Konsisten
    Pemerintah perlu memastikan regulasi tidak membebani peternak kecil, tetapi tetap menjaga standar keamanan pangan. Misalnya, memberi insentif untuk adopsi teknologi pakan alternatif, atau memperluas riset bahan pakan lokal pengganti kedelai impor.
  3. Peningkatan Kapasitas Peternak
    Program pelatihan biosekuriti, manajemen kesehatan unggas, hingga adaptasi iklim harus lebih masif. Dengan begitu, peternak kecil tidak tertinggal jauh dari perusahaan besar.

Harapan ke Depan

Meski tantangannya berat, masa depan peternakan unggas Indonesia sebenarnya cerah. Permintaan daging ayam dan telur diperkirakan akan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan kebutuhan protein.

Jika bisa mengurangi ketergantungan impor pakan, memperkuat biosekuriti, serta memanfaatkan teknologi, Indonesia bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan domestik, tapi juga memperkuat ekspor produk unggas.

Keberlanjutan peternakan unggas tidak hanya soal keuntungan ekonomi. Lebih dari itu, ini soal ketahanan pangan nasional. Ayam dan telur adalah sumber protein yang paling demokratis: bisa dinikmati semua lapisan masyarakat, dari desa sampai kota.

Peternakan ayam di Indonesia ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia punya potensi besar untuk menyehatkan bangsa dan menggerakkan ekonomi. Di sisi lain, rentan oleh ketergantungan impor, penyakit, perubahan iklim, dan lemahnya standar di tingkat peternak kecil.

Dengan kerja sama antara pemerintah, peneliti, industri, dan peternak, tantangan ini bisa diatasi. Karena pada akhirnya, keberlanjutan peternakan ayam bukan hanya soal ayam itu sendiri, tetapi juga soal masa depan pangan Indonesia.

Baca juga artikel tentang: Daging Kelinci: Potensi Tersembunyi di Dunia Peternakan

REFERENSI:

Fadilah, Roni dkk. 2025. Challenges and constraints to the sustainability of poultry farming in Indonesia. Animal Bioscience 38 (4), 802.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top