Bagi banyak orang, kebun binatang identik dengan tempat rekreasi keluarga. Anak-anak bisa melihat gajah, jerapah, singa, dan berbagai satwa liar dari dekat tanpa harus masuk hutan atau pergi ke Afrika. Namun, di balik keceriaan itu, kebun binatang menghadapi dilema besar: bagaimana mengelola jumlah hewan yang terus bertambah dan hidup lebih lama dibandingkan di alam liar.
Sebuah artikel ilmiah yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS, 2025) menyoroti isu yang sering dianggap tabu: kematian hewan di kebun binatang. Para peneliti berargumen bahwa kematian dan bahkan praktik euthanasia (penghentian hidup satwa secara manusiawi) seharusnya tidak selalu dipandang negatif. Justru, jika dikelola dengan benar, hal ini bisa menjadi bagian penting dari pendidikan, konservasi, dan kesejahteraan hewan itu sendiri.
Tahun 2014, dunia dihebohkan oleh kisah Marius, seekor jerapah muda berusia dua tahun di Kebun Binatang Kopenhagen, Denmark. Marius dibunuh meski sehat, lalu tubuhnya dijadikan pakan singa di depan pengunjung. Keputusan ini memicu kemarahan global. Banyak orang menilai tindakan itu kejam, sementara pihak kebun binatang berdalih bahwa jerapah tersebut surplus dalam program pembiakan dan secara genetik tidak dibutuhkan.
Kasus Marius menjadi simbol dilema besar:
- Apakah lebih baik mencegah kelahiran satwa baru agar tidak ada hewan berlebih?
- Atau membiarkan mereka lahir, lalu mengatur populasinya dengan mengorbankan sebagian?
Kebun binatang Kopenhagen memilih opsi kedua, yang akhirnya menimbulkan perdebatan sengit.
Baca juga artikel tentang: Inovasi Marikultur: Membawa Lobster, Bawal, dan Abalon ke Puncak Pasar Global
Mengapa Hewan di Kebun Binatang Berlebih?
Berbeda dengan di alam liar, hewan di kebun binatang relatif aman:
- Mereka tidak menghadapi predator.
- Pakan tersedia teratur.
- Perawatan kesehatan lebih baik.
Akibatnya, banyak hewan hidup lebih lama dari umur alaminya. Ditambah dengan keberhasilan program pembiakan, populasi bisa menumpuk lebih cepat.
Namun, kapasitas kebun binatang terbatas. Kandang tidak bisa diperluas tanpa batas, biaya pemeliharaan mahal, dan ada risiko inbreeding (perkawinan sedarah) jika jumlah hewan tertentu terlalu banyak.
Solusi Lama: Mencegah Reproduksi
Selama ini, banyak kebun binatang memilih mencegah kelahiran. Caranya dengan kontrasepsi, pemisahan jantan-betina, atau bahkan sterilisasi.
Langkah ini memang efektif mengurangi surplus, tapi peneliti menilai ada sisi negatifnya:
- Hewan kehilangan kesempatan menjalani perilaku alami, termasuk kawin dan membesarkan anak.
- Populasi menjadi statis, tidak ada regenerasi.
- Tujuan pendidikan kebun binatang untuk menunjukkan siklus hidup alami menjadi berkurang.
Dengan kata lain, menghambat kelahiran bisa menyelesaikan masalah jangka pendek, tapi gagal mendukung misi jangka panjang kebun binatang: konservasi, kesejahteraan hewan, dan pendidikan masyarakat.
Solusi Baru: Menghadapi Kematian sebagai Bagian Alamiah
Peneliti dalam artikel PNAS berpendapat, kebun binatang seharusnya tidak tabu menghadapi kematian hewan. Justru, jika dilakukan secara etis, hal ini membawa banyak manfaat:
- Pendidikan bagi pengunjung
Anak-anak bisa belajar bahwa kematian adalah bagian tak terpisahkan dari siklus hidup. Hewan liar di alam juga mati karena predator, penyakit, atau kelaparan. Menyaksikan proses ini membuat publik lebih memahami realitas ekosistem. - Makanan bagi satwa karnivora
Singa, harimau, dan hyena di kebun binatang tetap butuh daging segar. Daripada membeli bangkai dari luar, surplus satwa bisa menjadi sumber pakan alami. - Konservasi genetik
Dengan membiarkan hewan bereproduksi, meski nantinya ada yang diseleksi, kebun binatang tetap menjaga keanekaragaman genetik dan perilaku alami. - Kesejahteraan hewan
Hewan diperbolehkan hidup normal, termasuk kawin, melahirkan, dan membesarkan anak. Jika kemudian sebagian diseleksi dengan euthanasia yang manusiawi, hal itu tetap dianggap lebih baik dibanding dicegah sejak awal.

Tentu saja, ide ini tidak mudah diterima. Banyak orang sulit menerima bahwa hewan lucu seperti jerapah, zebra, atau kijang bisa sengaja dibunuh meski sehat.
Peneliti menilai masalah ini sebenarnya lebih pada persepsi publik. Manusia terbiasa menerima bahwa singa membunuh zebra di alam liar, tapi sulit menerima jika hal serupa dilakukan di kebun binatang. Padahal, dari sisi ekologi, prinsipnya sama: keseimbangan populasi.
Maka, kunci keberhasilan strategi ini adalah transparansi dan edukasi. Kebun binatang harus berani menjelaskan kepada pengunjung mengapa langkah tersebut diambil, bagaimana prosedur dilakukan secara etis, dan apa manfaatnya bagi kesejahteraan satwa serta konservasi.
Refleksi untuk Dunia Peternakan
Meski penelitian ini fokus pada kebun binatang, ada benang merah yang bisa dipetik oleh dunia peternakan:
- Populasi ternak juga perlu diatur. Jika dibiarkan berkembang biak tanpa kontrol, peternak bisa kewalahan menyediakan pakan, kandang, dan biaya kesehatan.
- Kematian hewan bukan hanya kerugian, tapi juga bagian dari siklus produksi. Misalnya, ayam pedaging memang dipelihara dengan tujuan akhirnya untuk konsumsi.
- Pendidikan publik soal siklus hidup hewan penting. Sama seperti kebun binatang, peternakan juga punya tanggung jawab memberikan pemahaman bahwa hewan dipelihara bukan sekadar untuk hiburan, tapi juga untuk kebutuhan pangan manusia.
Menutup Tabu, Membuka Diskusi
Kematian hewan memang topik yang sulit dibicarakan, apalagi di ruang publik yang penuh emosi. Namun, penelitian ini menantang kita untuk melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas: kesejahteraan hewan, keberlanjutan populasi, serta fungsi pendidikan kebun binatang.
Daripada menutup mata, mungkin sudah saatnya kita menerima bahwa kematian adalah bagian alami dari kehidupan, baik di hutan, di kebun binatang, maupun di peternakan.
Baca juga artikel tentang: Ikan Budidaya Lebih Bersih: Peluang Besar untuk Peternak Ikan Masa Depan
REFERENSI:
Clauss, Marcus dkk. 2025. Zoos must embrace animal death for education and conservation. Proceedings of the National Academy of Sciences 122 (1), e2414565121.


