Ketika kita membicarakan budidaya ikan atau pertanian padi, mungkin yang terbayang adalah teknologi modern, kolam buatan, pakan komersial, atau sistem irigasi canggih. Namun, tahukah Anda bahwa praktik memelihara ikan bersama tanaman padi sudah ada sejak 10.000 tahun lalu? Lebih mengejutkan lagi, praktik ini bukan sekadar percobaan, melainkan sebuah sistem yang berkembang alami dan kemudian diwariskan lintas generasi hingga kini.
Sebuah tinjauan ilmiah terbaru yang diterbitkan di Frontiers in Aquaculture oleh Peter Edwards mengulas sejarah panjang ko-evolusi antara budidaya ikan dan padi di kawasan Asia, terutama di Tiongkok, sejak Zaman Neolitik. Artikel ini memberikan gambaran menarik tentang bagaimana manusia purba, lingkungan, dan spesies liar saling berinteraksi hingga lahirnya sistem akuakultur paling awal di dunia.
Sekitar 8.000 SM, di wilayah Cekungan Sungai Yangtze, Tiongkok, iklim bumi mulai menghangat setelah berakhirnya Zaman Es. Suhu yang lebih tinggi dan curah hujan yang melimpah menciptakan ekosistem rawa, danau, serta sungai yang luas. Lingkungan ini kaya dengan tanaman air, salah satunya padi liar, serta berbagai jenis ikan air tawar.
Komunitas Austroasiatik, nenek moyang dari banyak bangsa Asia Tenggara, hidup dengan cara berburu, meramu, dan menangkap ikan. Mereka menemukan bahwa daerah rawa memberi dua sumber pangan sekaligus: padi liar dan ikan. Perlahan, aktivitas ini berkembang menjadi sistem campuran antara mencari makan (gathering) dan membudidayakan (farming).
Bisa dibilang, kolaborasi ikan dan padi yang kita kenal sekarang sebenarnya merupakan hasil adaptasi manusia terhadap kondisi alam ribuan tahun silam.
Baca juga artikel tentang: Probiotik dan Herbal, Duo Ajaib Penjaga Kesehatan Ikan Mas
Bukti Tertua: Tulisan Kuno dan Catatan Sejarah
Tiongkok sering disebut sebagai tempat kelahiran akuakultur modern. Salah satu catatan paling tua tentang budidaya ikan ditemukan dalam teks karya Fan Li (448–536 SM), seorang tokoh bersejarah yang menulis tentang pemeliharaan ikan mas (Cyprinus carpio). Ini adalah dokumen yang berusia sekitar 2.500 tahun.
Namun, bukti lebih tua ditemukan dalam tulisan tulang orakel dari Dinasti Shang (1.046–1.600 SM). Tulisan kuno ini mencatat keberadaan ikan yang dipelihara di kolam-kolam. Artinya, budidaya ikan sudah berlangsung jauh sebelum catatan Fan Li.
Menariknya, pada masa Dinasti Tang (618–907 M), budidaya ikan mas sempat dilarang. Alasannya unik: nama ikan mas dalam bahasa Tionghoa sama dengan nama marga kaisar, yaitu Li. Demi menghormati kaisar, rakyat tidak diperbolehkan membudidayakan ikan ini. Sebagai gantinya, petani mengembangkan sistem polikultur, yaitu memelihara beberapa jenis ikan secara bersamaan.

Sistem Ramah Lingkungan Sejak Dulu
Apa yang membuat sistem ikan dan padi ini istimewa? Jawabannya ada pada hubungan timbal balik antara kedua organisme tersebut.
- Ikan membantu padi dengan memakan hama serangga dan gulma kecil di sawah. Selain itu, kotoran ikan menjadi pupuk alami yang menyuburkan tanah.
- Padi membantu ikan dengan menyediakan naungan dan menjaga kualitas air tetap sejuk, sehingga ikan bisa tumbuh lebih sehat.
Hasilnya adalah sistem yang hemat sumber daya, tidak membutuhkan pupuk kimia atau pestisida, tetapi mampu menghasilkan dua sumber pangan sekaligus: beras dan ikan.
Tak heran jika sistem ini terus diwariskan. Bahkan hingga kini, di beberapa daerah Asia, petani masih menerapkan praktik serupa karena terbukti efisien dan ramah lingkungan.
Kolaborasi Alam, Budaya, dan Ekonomi
Ko-evolusi antara ikan dan padi tidak hanya membentuk sistem pertanian, tetapi juga memengaruhi budaya dan ekonomi masyarakat.
Di banyak komunitas, ikan dan padi menjadi makanan pokok yang tidak terpisahkan. Dalam ritual keagamaan maupun tradisi, keduanya sering diposisikan sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran.
Lebih jauh, sistem ini juga membantu stabilisasi pangan. Dengan memanen ikan, petani memiliki sumber protein tambahan selain beras. Hal ini sangat penting untuk keberlangsungan gizi masyarakat di masa lalu, dan tetap relevan hingga sekarang.
Pelajaran untuk Dunia Modern
Lalu, apa relevansi cerita kuno ini bagi kita yang hidup di abad ke-21? Ada beberapa hal penting yang bisa kita pelajari:
- Ketahanan pangan berbasis lokal. Sistem ikan dan padi menunjukkan bahwa kearifan lokal bisa menciptakan pangan yang berkelanjutan tanpa bergantung pada bahan kimia modern.
- Efisiensi sumber daya. Di tengah isu perubahan iklim dan keterbatasan lahan, sistem terpadu seperti ini bisa menjadi solusi hemat lahan sekaligus mengurangi polusi.
- Inspirasi pertanian masa depan. Model integrasi antara tanaman dan hewan dapat dikembangkan lebih luas, misalnya menggabungkan akuakultur dengan hortikultura atau energi terbarukan.
- Nilai budaya. Sejarah ini mengingatkan kita bahwa pertanian bukan sekadar produksi pangan, melainkan juga bagian dari identitas dan peradaban manusia.
Dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Kini, ilmuwan dan praktisi pertanian semakin tertarik untuk menghidupkan kembali atau mengadaptasi sistem lama ini dengan sentuhan teknologi. Misalnya, sawah modern bisa dilengkapi sensor kualitas air, sementara ikan diberi pakan alami hasil fermentasi. Tujuannya sama seperti ribuan tahun lalu: menghasilkan pangan yang sehat, ramah lingkungan, dan cukup untuk semua orang.
Sejarah panjang kolaborasi ikan dan padi menjadi bukti bahwa manusia sebenarnya sudah lama memahami konsep ekosistem berkelanjutan. Yang kita butuhkan sekarang adalah kesediaan untuk belajar dari masa lalu, lalu menerapkannya pada skala yang lebih luas dan sesuai dengan tantangan zaman.
Budidaya ikan dan padi yang sudah berlangsung selama 10.000 tahun adalah contoh nyata bagaimana manusia, alam, dan budaya bisa bekerja sama menciptakan sistem pangan yang cerdas. Dari rawa-rawa di Zaman Neolitik hingga penelitian ilmiah modern, cerita ini menegaskan satu hal: keberlanjutan bukanlah ide baru, melainkan warisan lama yang seharusnya kita rawat.
Jika leluhur kita bisa menciptakan sistem pangan berkelanjutan tanpa teknologi canggih, bukankah seharusnya kita di era modern bisa melakukannya lebih baik?
Baca juga artikel tentang: Airborne Transmission: Puzzle Baru Penyebaran Flu Burung di Peternakan
REFERENSI:
Edwards, Peter. 2025. Co-evolution of fish and rice farming by Austroasiatic communities in the Neolithic Era and early documentation of aquaculture in China. Frontiers in Aquaculture 3, 1437833.


