Ketika Lumpur Laut Bicara: Dampak Peternakan Ikan pada Bakteri dan Bau Laut

Bayangkan sebuah keramba ikan di tengah laut. Dari atas, yang terlihat hanya jaring-jaring terapung, ikan yang berenang, dan para pekerja memberi pakan. Namun, di bawah sana, tepat di dasar laut, terjadi sebuah “drama kimia” yang jarang disadari orang. Lumpur laut atau sedimen ternyata bisa berubah drastis akibat aktivitas peternakan ikan, dan perubahan ini memberi dampak besar pada ekosistem laut.

Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di Science of The Total Environment (2025) menyingkap cerita menarik tentang apa yang terjadi di dasar laut ketika ikan-ikan dipelihara dalam jumlah besar. Penelitian ini fokus pada perubahan komunitas mikroorganisme dan senyawa organik mudah menguap (volatile organic compounds/VOCs) di sekitar keramba ikan.

Setiap hari, ikan di keramba diberi pakan dalam jumlah banyak. Tidak semua pakan termakan, dan sisa pakan bersama kotoran ikan akhirnya tenggelam ke dasar laut. Lama-kelamaan, lumpur laut di bawah keramba jadi “kaya gizi” atau disebut eutrofik—penuh dengan bahan organik yang bisa merangsang pertumbuhan mikroorganisme.

Sekilas, terdengar baik. Tapi kenyataannya, kondisi ini bisa memicu masalah serius. Lumpur yang terlalu kaya nutrisi bisa mengubah keseimbangan komunitas bakteri dan eukariota (organisme bersel tunggal seperti alga dan protozoa). Lebih jauh lagi, proses ini menghasilkan senyawa kimia berbau tajam yang dapat memengaruhi kualitas ikan itu sendiri.

Baca juga artikel tentang: Airborne Transmission: Puzzle Baru Penyebaran Flu Burung di Peternakan

VOCs: Senyawa Kecil, Dampak Besar

Salah satu temuan menarik dalam penelitian ini adalah identifikasi 76 senyawa organik mudah menguap (VOCs) di sedimen laut di bawah keramba ikan. VOCs ini punya aroma khas, mulai dari bau jamur, tanah basah, hingga amis dan tengik. Senyawa yang paling dominan adalah 2-Octen-1-ol, yang dikenal dengan bau seperti jamur, tanah, bahkan metalik.

Bagi ekosistem laut, VOCs ini penting karena:

  1. Bisa menjadi penanda (biomarker) kondisi kesehatan ekosistem dasar laut.
  2. Berhubungan langsung dengan komunitas mikroba yang hidup di lumpur.
  3. Potensial memengaruhi cita rasa ikan, terutama ikan-ikan konsumsi seperti croaker kuning besar (large yellow croaker) yang diteliti dalam studi ini.

Bayangkan saja, bau lumpur bisa “naik” menjadi aroma yang memengaruhi ikan yang kita makan di meja makan!

Budidaya ikan croaker dalam keramba laut memicu eutrofikasi yang meningkatkan bakteri, flagelata, dan senyawa organik volatil (VOC), tetapi menekan keberadaan hewan bentik seperti echinodermata, annelida, dan cnidaria.

Mikroba yang Mengatur Cerita

Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran komunitas mikroba di dasar laut akibat eutrofikasi. Misalnya:

  • Desulfuromonadia dan Desulfobacterota, bakteri yang suka hidup di lingkungan miskin oksigen, jumlahnya meningkat tajam.
  • Sementara Campylobacterota, yang biasanya ada di banyak area laut lain, jumlahnya menurun di bawah keramba.
  • Eukariota seperti ciliata dan flagellata juga mendominasi, ikut mempercepat perubahan kimia di sedimen.

Uniknya, beberapa VOCs yang ditemukan punya hubungan erat dengan organisme tertentu. Misalnya, senyawa tertentu berkorelasi dengan keberadaan cacing laut (Aurosipo foodbanscia) dan hewan laut kecil sejenis ubur-ubur (Diadumene cincta). Artinya, kimia dan biologi saling terhubung erat dalam “orkestra” bawah laut ini.

Mengapa Ini Penting untuk Kita?

Bagi masyarakat umum, mungkin ini terdengar seperti penelitian rumit di laboratorium. Namun, dampaknya nyata:

  1. Kualitas Ikan Konsumsi
    Jika dasar laut menghasilkan senyawa berbau tajam, bukan tidak mungkin ikan yang hidup di keramba ikut menyerap bau atau rasa tidak sedap. Ini jelas berpengaruh pada kualitas makanan yang akhirnya kita konsumsi.
  2. Kesehatan Ekosistem Laut
    Perubahan drastis pada komunitas mikroba bisa mengganggu rantai makanan alami di laut. Jika dasar laut terganggu, organisme lain seperti kerang, udang, atau bahkan ikan liar yang hidup di sekitar keramba ikut terkena dampaknya.
  3. Pemantauan Lingkungan
    Temuan VOCs bisa dijadikan “alarm alami” untuk mengetahui apakah suatu kawasan keramba ikan sudah terlalu kaya nutrisi dan berpotensi merusak lingkungan.

Potensi Solusi: Belajar dari Lumpur

Penelitian ini membuka jalan baru untuk pengelolaan peternakan ikan yang lebih berkelanjutan. Beberapa ide yang bisa dipetik adalah:

  • Monitoring berbasis biomarker: VOCs bisa dipakai sebagai indikator cepat untuk memantau kesehatan dasar laut tanpa harus menunggu kerusakan besar.
  • Pengaturan pakan ikan: Dengan manajemen pakan yang lebih efisien, jumlah sisa pakan yang tenggelam bisa ditekan, sehingga lumpur tidak terlalu “gemuk” dengan nutrisi.
  • Rotasi lokasi keramba: Memberi waktu bagi dasar laut untuk “pulih” sebelum kembali digunakan bisa membantu menjaga keseimbangan ekosistem.

Dari Laut ke Piring Kita

Akhirnya, penelitian ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita makan tidak hanya bergantung pada cara ikan dipelihara di keramba, tetapi juga pada kondisi dasar laut di bawahnya. Lumpurnya, bakterinya, bahkan senyawa kimianya, semuanya ikut menentukan kualitas ikan yang sampai ke meja makan.

Dengan pemahaman baru tentang hubungan antara mikroorganisme, senyawa kimia, dan ekosistem, kita bisa membayangkan masa depan akuakultur yang lebih pintar: ikan sehat, laut tetap lestari, dan makanan kita lebih aman serta lezat.

Lumpur laut bukan sekadar kotoran tak berguna. Ia menyimpan cerita tentang bagaimana manusia memelihara ikan, bagaimana alam bereaksi, dan bagaimana keduanya saling memengaruhi. Jika kita bisa membaca cerita ini dengan baik—seperti yang dilakukan para ilmuwan—kita bisa membuat keputusan lebih bijak demi keberlanjutan akuakultur dan keamanan pangan.

Dengan kata lain, ketika lumpur berbicara, kita harus mau mendengar.

Baca juga artikel tentang: Probiotik dan Herbal, Duo Ajaib Penjaga Kesehatan Ikan Mas

REFERENSI:

Wan, Fa-Guo dkk. 2025. Exploring eutrophic effects of marine sediments underneath fish cage farms: Insights from changes in eukaryotic and bacterial communities and volatile organic compounds. Science of The Total Environment 967, 178820.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top