Peternakan Ramah Iklim: Strategi Mengurangi Gas Rumah Kaca Non-CO₂ dari Sistem Tanaman-Ternak

Isu perubahan iklim kini semakin mendesak untuk diatasi. Selama ini, perhatian masyarakat lebih banyak tertuju pada emisi karbon dioksida (CO₂) sebagai penyumbang terbesar pemanasan global. Padahal, ada jenis gas rumah kaca lain yang tak kalah berbahaya dan banyak berasal dari sektor pertanian, khususnya peternakan, yaitu gas non-CO₂. Dua gas utama yang masuk kategori ini adalah metana (CH₄) dan dinitrogen oksida (N₂O). Keduanya memiliki efek pemanasan jauh lebih kuat daripada CO₂ walau jumlahnya lebih sedikit.

Sebuah studi terbaru yang menganalisis data dari 138 negara selama periode 1961 hingga 2020 menemukan bahwa peternakan, khususnya dalam sistem terpadu tanaman-ternak (crop-livestock system), memainkan peran penting dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca non-CO₂. Artikel ini mencoba menjelaskan temuan tersebut dengan bahasa sederhana, agar masyarakat bisa lebih memahami betapa pentingnya peran sektor peternakan dalam menjaga masa depan iklim kita.

Baca juga artikel tentang: Daging Kelinci: Potensi Tersembunyi di Dunia Peternakan

Dari Mana Asal Gas Rumah Kaca Non-CO₂ dalam Peternakan?

Ada dua sumber utama:

  1. Fermentasi enterik
    Proses alami pencernaan pada hewan ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba menghasilkan gas metana. Gas ini dilepaskan ke udara terutama saat hewan bersendawa.
  2. Pengelolaan kotoran ternak
    Kotoran yang menumpuk dapat menghasilkan metana dan dinitrogen oksida, apalagi jika tidak dikelola dengan baik.

Selain itu, penggunaan pupuk kandang yang berlebihan juga dapat meningkatkan emisi N₂O dari tanah.

Skala Masalahnya

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa emisi global non-CO₂ dari sistem tanaman-ternak meningkat 61,9% selama 60 tahun terakhir, yaitu dari 2696,5 juta ton CO₂-ekuivalen pada 1961 menjadi 4365,0 juta ton pada 2020.

Tiga negara besar penyumbang emisi terbesar adalah:

  • India (671,3 juta ton/tahun)
  • Brasil (494,2 juta ton/tahun)
  • China (486,1 juta ton/tahun)
  • Amerika Serikat (238,8 juta ton/tahun)

Keempat negara ini saja menyumbang sekitar 40% dari total emisi non-CO₂ global dari sektor pertanian.

Variasi spasio-temporal pada non-COEmisi GRK dalam sistem tanaman-ternak antara tahun 1961 dan 2020.
Catatan: (a) menunjukkan proporsi dan perubahan temporal dari berbagai kontribusi ternak terhadap lima jalur emisi dan perubahan dekade pada tahun 2020 (b), 2000 (c), 1980 (d), 1961 (e). EF, MM, MS, MP, dan SF pada (a) adalah singkatan dari fermentasi enterik, pengelolaan pupuk kandang, pupuk kandang yang diaplikasikan ke tanah, pupuk kandang yang ditinggalkan di padang rumput, dan aplikasi pupuk sintetis. Proporsi lima sumber pada tahun 2020, 2000, 1980, dan 1961 pada (a) adalah dari kiri ke kanan.

Menariknya, peneliti menemukan adanya pola “decoupling” di negara maju. Artinya, meski ekonomi mereka terus tumbuh, emisi gas rumah kaca non-CO₂ tidak meningkat sebanding. Misalnya, Amerika Serikat sejak tahun 1985 sudah mencapai titik di mana pertumbuhan ekonomi tidak lagi diikuti dengan peningkatan emisi secara signifikan.

Sebaliknya, di negara berkembang, hubungan ini masih erat. Dengan kata lain, ketika ekonomi tumbuh, emisi dari sektor pertanian dan peternakan juga melonjak tajam.

Strategi Mengurangi Emisi dari Peternakan

Penelitian ini menggunakan berbagai skenario untuk melihat strategi mitigasi yang paling efektif. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Perubahan Struktur Pemeliharaan (Rearing Structure Adjustment)
    Mengalihkan pola peternakan dari sistem tradisional ke sistem yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
  2. Optimalisasi Manajemen Peternakan (Livestock Management Optimization/LMO)
    Termasuk penggunaan pakan berkualitas yang mengurangi produksi metana di saluran pencernaan hewan.
  3. Penerapan Praktik Terbaik dalam Skala Besar (Best Management Practices/BMPs)
    Dengan skenario pengurangan 30–50% melalui kombinasi teknologi pakan, pengelolaan kotoran, dan efisiensi sistem produksi.
  4. Tidak Menggunakan Pupuk Kandang (No Manure Application/NMA)
    Walaupun ekstrem, skenario ini menunjukkan dampak besar dalam menekan emisi, namun tentu sulit diterapkan sepenuhnya dalam praktik nyata.

Jika strategi-strategi ini diterapkan, penelitian memperkirakan bahwa emisi global bisa turun 3,2 hingga 6,7 gigaton CO₂-ekuivalen per tahun pada 2060.

Implikasi untuk Ketahanan Pangan

Mengurangi emisi gas rumah kaca bukan hanya soal iklim, tetapi juga erat kaitannya dengan ketahanan pangan global. Sektor peternakan menghasilkan sumber protein penting berupa daging, susu, dan telur yang dibutuhkan populasi dunia. Tantangannya adalah bagaimana terus memenuhi kebutuhan pangan tanpa memperburuk perubahan iklim.

Dengan strategi manajemen ternak yang lebih efisien, bukan hanya emisi yang bisa ditekan, tapi juga produktivitas ternak meningkat. Misalnya, penggunaan pakan aditif tertentu bisa mengurangi metana sekaligus membuat hewan tumbuh lebih cepat.

Lintasan emisi masa depan dari non-COEmisi GRK dalam berbagai skenario.
Catatan: Area yang diarsir dari tahun 1961 hingga 2020 merupakan pengurangan emisi GRK non-CO2 historis akibat aplikasi pupuk kandang, dan area yang diarsir dari tahun 2020 hingga 2060 merupakan pita keyakinan 95%.

Negara berkembang memegang peran kunci. Di sinilah pertumbuhan populasi dan permintaan produk hewani meningkat pesat. Jika tidak ada intervensi, lonjakan konsumsi daging dan susu di negara-negara ini akan memperparah emisi global.

Namun, justru di negara berkembang juga terdapat peluang besar untuk perbaikan. Penerapan teknologi pakan, sistem pengelolaan kotoran yang lebih baik, serta integrasi tanaman-ternak bisa memberi dampak signifikan dalam mengurangi emisi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani kecil.

Menuju Netral Karbon

Studi ini menegaskan bahwa transisi strategis dalam sektor peternakan adalah kunci untuk mencapai target netral karbon di sektor pertanian. Beberapa langkah yang harus diprioritaskan antara lain:

  • Mengurangi ketergantungan pada ternak monogastrik (satu perut) dalam jumlah besar dengan sistem padat modal yang boros sumber daya.
  • Mendorong daur ulang pupuk kandang agar nutrien kembali ke lahan, bukan mencemari udara.
  • Mengatur pola diet global agar lebih seimbang, dengan tidak berlebihan mengonsumsi produk hewani.

Emisi gas rumah kaca non-CO₂ dari sektor pertanian, khususnya peternakan, adalah tantangan besar namun juga peluang besar. Dengan pengelolaan yang tepat, sektor ini bisa berubah dari penyumbang masalah menjadi bagian dari solusi.

Peternakan bukan sekadar sumber pangan, tetapi juga bagian dari sistem ekologis yang bisa dikelola untuk mendukung keseimbangan lingkungan. Upaya mengurangi emisi metana dan dinitrogen oksida akan membantu memperlambat laju perubahan iklim, sekaligus menjamin ketahanan pangan di masa depan.

Studi global ini mengingatkan kita bahwa solusi iklim tidak hanya datang dari mengurangi CO₂ di sektor energi, tetapi juga dari mengubah cara kita bertani dan beternak. Jadi, masa depan pertanian berkelanjutan ada di tangan kita semua (petani, konsumen, peneliti, dan pembuat kebijakan).

Baca juga artikel tentang: Peternakan Kelinci Berkelanjutan: Manfaat Allicin, Likopen, Vitamin E & C

REFERENSI:

Zheng, Li dkk. 2025. Livestock rearing as a key component of mitigation efforts for non-CO2 greenhouse gas emissions in global crop-livestock system. Resources, Environment and Sustainability, 100248.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top