Bagi banyak petani di Asia, sawah bukan hanya tempat menanam padi, tetapi juga sebuah ekosistem yang bisa hidup berdampingan dengan hewan. Salah satu praktik tradisional yang mulai dilirik kembali oleh ilmuwan adalah sistem padi–itik. Sesuai namanya, sistem ini menggabungkan budidaya padi di sawah dengan pemeliharaan itik. Kedengarannya sederhana, tetapi hasil riset terbaru di Tiongkok menunjukkan bahwa cara ini mampu membuat pertanian lebih tangguh, murah, dan ramah lingkungan dibandingkan sistem sawah konvensional.
Kenapa Dibutuhkan Pertanian yang Tangguh?
Perubahan iklim membuat cuaca semakin sulit diprediksi. Hujan badai bisa datang tiba-tiba, serangan hama semakin ganas, sementara harga pupuk dan pestisida melambung. Dalam situasi ini, petani membutuhkan sistem pertanian yang tidak mudah goyah oleh perubahan. Istilahnya, sistem tersebut harus punya resiliensi atau ketahanan: tetap bisa menghasilkan panen meskipun diterpa berbagai guncangan.
Apa Itu Sistem Padi–Itik?
Dalam sistem ini, itik dilepas di sawah untuk hidup bersama tanaman padi. Itik tidak hanya sekadar ada, tetapi mereka ikut bekerja:
- Memakan gulma yang biasanya tumbuh liar di sawah.
- Memangsa serangga hama yang bisa merusak tanaman.
- Mengaduk tanah dengan kakinya, sehingga membantu peredaran air dan oksigen.
- Menghasilkan kotoran yang menjadi pupuk alami bagi padi.

Hasilnya, petani bisa mengurangi pemakaian pestisida dan pupuk kimia, sekaligus mendapat tambahan hasil berupa daging dan telur itik.
Temuan Penelitian di Tiongkok
Riset yang dipublikasikan tahun 2025 di International Food and Agribusiness Management Review meneliti praktik padi–itik di Tiongkok dari tahun 2018 hingga 2022. Para peneliti membandingkan dua sistem:
- Sawah konvensional (hanya padi).
- Sawah padi–itik (padi yang dibudidayakan bersama itik).
Hasilnya cukup mencengangkan:
- Lebih hemat biaya → Petani yang menggunakan sistem padi–itik bisa mengurangi pembelian pupuk dan pestisida.
- Lebih untung → Selain panen padi, mereka juga menjual itik atau telurnya.
- Lebih stabil → Saat badai atau serangan hama, kerusakan tanaman lebih sedikit dibandingkan sawah biasa.
- Lebih ramah lingkungan → Pemakaian bahan kimia berkurang drastis, kualitas tanah dan air tetap terjaga.
Baca juga artikel tentang: Peneliti Berhasil Ungkap Mengapa Beberapa Jenis Ayam mampu Lebih Hemat Air dibandingkan Ayam Lainnya
Perlindungan Alami dari Hama dan Bencana
Bayangkan sebuah badai datang dan merobohkan sebagian tanaman padi. Dalam sawah konvensional, kerusakan bisa sangat parah. Tetapi dalam sistem padi–itik, karena pertumbuhan gulma ditekan dan serangan hama berkurang, kerugian tetap bisa diminimalkan. Begitu pula saat serangan wereng atau ulat datang, itik bertindak sebagai “pasukan tempur” yang memangsa hama sebelum mereka sempat merajalela.
Menjawab Tantangan Modern
Salah satu masalah besar dalam pertanian modern adalah ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia. Awalnya memang membantu meningkatkan produksi, tetapi lama-kelamaan menimbulkan efek samping: tanah menjadi miskin unsur hara, air tercemar, dan biaya produksi semakin mahal. Sistem padi–itik menawarkan solusi alami. Dengan memanfaatkan perilaku itik, petani bisa memangkas ketergantungan pada bahan kimia tanpa mengorbankan hasil panen.
Nilai Tambah Ekonomi untuk Petani
Selain hasil padi, sistem ini menghasilkan daging dan telur itik. Artinya, petani tidak hanya bergantung pada satu sumber pendapatan. Jika harga beras turun, mereka masih punya itik untuk dijual. Diversifikasi pendapatan ini membuat ekonomi keluarga petani lebih aman.
Bahkan, di beberapa daerah, peternakan itik punya nilai budaya tersendiri. Telur asin, misalnya, menjadi produk olahan yang bernilai tinggi. Dengan sistem ini, rantai nilai dari sawah bisa diperluas hingga ke industri kuliner lokal.
Lebih Ramah Lingkungan
Salah satu poin penting dari penelitian adalah bahwa sistem padi–itik mengurangi emisi dan pencemaran. Karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida berkurang, air irigasi tetap lebih bersih. Kotoran itik membantu memperbaiki kualitas tanah secara alami. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa menjaga kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati di sawah.
Tantangan dalam Penerapan
Tentu saja, tidak ada sistem yang sempurna. Petani yang ingin mencoba sistem padi–itik perlu memikirkan:
- Pengelolaan jumlah itik → Terlalu banyak itik bisa merusak tanaman muda.
- Investasi awal → Membeli bibit itik dan membuat pagar sawah agar itik tidak kabur.
- Pengetahuan teknis → Petani perlu belajar kapan waktu yang tepat melepas itik ke sawah agar hasil optimal.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa jika dilakukan dengan baik, keuntungan jangka panjang jauh lebih besar daripada tantangan awal.
Inspirasi untuk Asia Tenggara
Meskipun penelitian ini dilakukan di Tiongkok, pesan yang bisa dipetik sangat relevan untuk negara-negara lain di Asia, termasuk Indonesia. Kita punya tradisi panjang beternak itik dan menanam padi. Menghidupkan kembali praktik ini dengan sentuhan ilmu pengetahuan modern bisa menjadi jalan keluar untuk menghadapi tantangan pangan dan iklim.
Bayangkan jika sebagian besar sawah di Asia Tenggara menggunakan sistem ini. Bukan hanya hasil panen yang lebih stabil, tetapi juga lingkungan yang lebih sehat, petani yang lebih sejahtera, dan konsumen yang mendapat makanan lebih aman.
Sistem padi–itik bukanlah hal baru, tetapi penelitian modern membuktikan kembali keampuhannya. Ia menawarkan tiga hal penting bagi masa depan pertanian:
- Tangguh menghadapi iklim dan hama.
- Menguntungkan secara ekonomi.
- Ramah terhadap lingkungan.
Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, menggabungkan sawah dan itik bisa jadi salah satu cara paling cerdas untuk menjaga ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
Baca juga artikel tentang: Mengukur Tingkat Keparahan Penyakit pada Kambing dengan Kecerdasan Buatan: Inovasi dari Penelitian Terkini
REFERENSI:
Zhuo, Ni dkk. 2025. Integrated crop–livestock system and farm resilience enhancement: evidence from ecological rice–duck farming system in China. International Food and Agribusiness Management Review 1 (aop), 1-26.